Senin, 25 Mei 2009

Si Kaki Kurus

Musim hujan mulai memasuki kota, menyapu sisa-sisa kemarau yang baunya menyengat dihempas deras hujan tadi malam. Ketika gerimis menyentuhkan jemarinya kepada aspal jalanan kota terik itu. Si kaki kurus diam, bukan mati, hanya sejenak melepas lelah di setiap sendinya yang tua dan rapuh. Proses perjalanan yang keras dan panjang membuat si kaki kurus keletihan. Seorang wanita dengan jas almameter kedodorannya melintasi si kaki kurus. Kemudian kembali, diamatinya si kaki kurus yang tengah mengistirahatkan kedua kelopak matanya. Dua bungkus roti dan selembar uang seribuan diletakkan di samping tubuh si kaki kurus. Wanita dengan jas almameternya memasang senyum dan membiarkan sepatu dengan tali kuningnya menyusuri trotoar Jogja, meninggalkan si kaki kurus sendirian. Gerimis telah berevolusi menjadi hujan, Kristal-kristal kondensasi yang mencair itu memaksa si kaki kurus mengalihkan tubuh rentanya dari tempat meditasi atas kehawatiran dan keletihan. Keterkejutan nampak melengkapi kerutan-kerutan di wajah tuanya, ketika dua bungkus roti dan selembar uang seribuan tiba-tiba menemaninya di kala dingin yang menusuk pori-pori mungilnya semakin ganas menghantam. Namun hanya sesaat, dengan sigap roti-roti itu telah memasuki rongga lambung si kaki kurus.
Gelap telah menyisir seluruh sudut kota Jogja, masih nampak bekas-bekas pertempuran bumi dan langit tadi siang. Aromaterapi bagi pecandu musim hujan yang beberapa bulan telah lenyap. Si kaki kurus bersandar pada tembok kumuh dengan cat yang mengelupas di beberapa bagiannya. Pikiran si kaki kurus menerawang, menyusun kembali potongan-potongan masa lalu dengan ingatan yang mulai pikun. Saat kakinya belum sekurus saat ini, duduk di kursi goyang di atas rumah panggungnya sambil menyelami makna jalinan tinta dalam sebuah kertas, surat dari anak satu-satunya.
Assalamualaikum Wr…..Wb…..
Yang terhormat Ayahandaku,
Bagaimana kabar ayahanda di kampung? Semoga ayahanda selalu dalam keadaan sehat. Alhamdulillah, Aris di Jogja juga baik-baik saja.
Dua minggu yang lalu, Aris telah selesai diwisuda dan langsung ditawari pekerjaan oleh salah satu perusahaan swasta di Jogja. Maafkan Aris baru bisa mengirim kabar sekarang, Aris sangat sibuk sekali sampai tak sempat mengirim surat. Aris mohon doa restu dari ayahanda agar Aris sukses di sini.
Wassalamualaikum Wr…..Wb…..
Salam hormat dan sayang dari putramu,

Aris
Selembar foto wisuda anaknya menemani kedatangan surat tersebut. Beberapa tahun, dengan penyakit encok yang semakin sering mampir di pinggangnya, si kaki kurus menghitung bilangan bulan pada kalender dan menanti kepulangan serta kabar dari putranya. Namun, warta tak kunjung menerobos ke gendang telingan yang mulai tak berfungsi dengan benar itu. Perkembangan industry telah merombak kampungnya menjadi pusat modernisasi industry. Rumah panggung dan tanah tempatnya berpijak tak lagi mampu bertahan dengan arus globalisasi. Bahkan nilai setiap sila dasar falsafah Negara tercinta kita, tak kokoh lagi memfilter serbuannya. Si kaki kurus pun mengocok-ocok isi pikirannya, dan memungut satu undian dari berbagai alternative pilihan yang memutar otak tuanya. Dia memutuskan untuk berlayar ke Jawa dan menelusuri kota perantauan putranya, Jogja, mencari sosok Aris di antara timbunan populasi manusia. Hingga kaki kurusnya semakin berkurang daging dan lemaknya. Atau bahkan, kulit epidermisnya telah menekan pembuluh nadinya semakin menjorok ke dalam. Namun, tak kunjung muncul sosok raut wajah si pemakai seragam wisuda. Tahun telah menggeser bulan dan musim telah berulang kali menyapa bumi kota Gudeg itu. Si kaki kurus merasa terjangan usia semakin membuatnya tak sekekar dan sesehat dulu. Namun, keinginan telah mengakar kuat pada otak kerutnya.
Tiba-tiba makhluk kecil berbulu kucel menghinggapi pahanya yang kendor. Si kaki kurus tersentak kaget, namun segera bermetamorfosis menjadi rasa iba dan empati. Kucing kecil dengan aki kurus seperti miliknya, tapi yang pasti tidak setua kalender usianya. “Kau terlalu manis dan kecil untuk kota sebesar ini, kucing”, gumam si kaki kurus tanpa suara. Kemudian dipeluknya si kucing sambil berlalu tidur.
Kabut masih berbaur ramah dengan panorama pagi buana kraton. Cahanya mentari sepertinya enggan menyingkap silhuet malam yang masih tertinggal. Bersembunyi di balik gerombolan mendung yang bergantung di langit Jogja. Sepertinya hujan akan mengiringi aktivitas lalu lintas kendaraan hari ini. Si kaki kurus terbangun, bukan karena sadar bahwa pagi telah menjemputnya kembali, tapi cipratan air sisa hujan kemarin yang digilas roda mobil telah membasahi kulitnya yang hitam dan kisut. Dipandangnya sekeliling, ramai dan sesak dengan kendaraan. “aku akan mencarikan uang untuk makan kita, kucing”, bergumam, lagi-lagi tanpa suara. Dipungutnya gelas air mineral bekas yang luput dari operasi pemulung harian. Si kaki kurus berjalan terseok menuju traffic light di perempatan jalan sambil menengadahkan gelasnya pada barisan kendaraan yang ingin segera melintasi jalanan asapal ini. Berbagai pose wajah dipasang makhluk-mahluk dalam kendaraan atas kehadiran si kaki kurus. Sebuah mobil avanza biru metallic terbuka ventilasi mewahnya. “Putri, tolong berikan recehan itu untuk pengemis di luar,” suara dari dalam mobil. Suara yang tak asing lagi bagi komponen organ pendengaran si kaki kurus. Bola mata si kaki kurus mencari-cari pemilik suara berat itu. Penglihatannya yang mulai rabun tak bisa memanipulasi raut wajah dalam mobil itu. Aris, anak yang telah membuatnya menjadi si kaki kurus yang kuat, duduk di dalamnya dengan seorang gadis berkepang dua. Si kaki kurus menangis dan berteriak, “Aris……ini bapakmu, nak!!!!!” . Lampu merah telah berganti kedudukan dengan lampu hijau, avanza biru metallic membawa jauh Aris yang tanpa respon apapun. Si kaki kurus memegang lehernya, ia sadar bahwa pita suara kecilnyatelah putus sejak ia diterima menjadi bagian natalitas dalam rumus kepadatan penduduk di ilmu geografi yang pernah dipelajarinya. Tersenyum, diusapnya lelehan dari kelenjar air matanya. Doa-doa yang telah dipanjatkannya tiap waktu didengar oleh sang penguasa alam semesta. Anak si kaki kurus telah berhasil merangkul kesuksesan dalam persaingan yang ketat dari kota tradisional ini. Si kaki kurus menghitung kumpulan receh dalam gelas air mineral bekas. Lalu memagut senyum pada kucing kecil berbulu kucel.
Kali ini langit sedang bersahabat dengan si kaki kurus. Tidak menyeringai ganas dengan sengatan panas seperti musim kemarau biasanya, tidak juga melemparkan butiran-butiran air dari kantong perutnya. Si kaki kurus melangkah, membiarkan kucing kecil kembali beradu kuat dengan spesiesnya, juga menyerahkan sandal jepitnya yang bolong melewati kota yang lembab.
Lembayung sore mengilhami petang sebagai perbatasan antara gelap dan terang. Si kaki kurus tetap saja menggerakkan kaki kurusnya untuk menemukan mutiara kecilnya dulu. Sebuah keyakinan dan doa telah menganugerahkan kekuatan besar bagi kedua tumit kakinya. Namun, kematian merupakan ketetapan yang telah tercantumkan dalam buku takdir sejak zaman azali, hanya Tuhan yang berhak atas kematian ciptaannya. Si kaki kurus mulai goyah, ruas-ruas sendinya mulai bergetar, proses pencabutan roh telah dimulai atas raganya. Doa terakhir diserukan dalam rongga mulutnya, meskipun tanpa suara,” izinkan hambamu ini memandang putranya untuk yang terakhir kali, Ya Allah”. Di seberang jalan tampak avanza biru metallic pagi tadi di perempatan jalan. Si kaki kurus tersenyum, berjuang dengan seluruh sisa tenaga yang masih melekat pada otot-otot kakinya yang rapuh. Tinggal selangkah lagi mencapai avanza biru metallic, tapi “bruuuk….!” Si kaki kurus terjerembab. Semua bola mata berburu pandang ke arah si kaki kurus, termasuk penumpang mobil avanza biru metallic, Aris serta istrinya. Rasa terkejut menghiasi rona wajah Aris, tak disangkanya si kaki kurus ini adalah bapak di kampung dulu, yang dengan tulusnya selalu mengirim doa-doa suci untuknya. Si kaki kurus mengapit senyum, berharap sepasang tangan yang telah dibesarkannya akan meraih tubuh tipisnya. “ kok bisa mas kenal sama pengemis kumuh kayak pak tua ini?” bisik istrinya dengan raut wajah penasaran. “ Ah….tidak! aku tak pernah kenal orang tua ini”, ucap Aris tanpa hasrat rindu sedikit pun. “ Ayo pulang saja! Toh kita juga tak kenal pengemis ini” perintah Aris angkuh. Avanza biru metallic berjalan lambat, kemudian melaju kencang menembus debu-debu kota. Si kaki kurus semakin menyusut senyumnya, menyusul tenaganya yang telah tercabut dari raganya. Perjalanan yang telah diukirnya selama ini telah direnggut oleh kebengisan evolusi kota atas Aris. Mobil ambulan menjemput mayat si kaki kurus dengan kaki kurusnya yang dingin tanpa hasil perjalanannya selama ini, tanpa Aris.

Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Padang Mimpi