Senin, 25 Mei 2009

Rasaku Atasmu

Merangkak…
Berdiri…
Berjalan…
Kemudian berlari…
Aku telah bermetamorfosa
dari sederet nama
tapi vacuum
tanpa tafsir

lalu…
aku menangis
berlanjut
teriak
kau bungkam…diam…
menjelma sebentuk
labirin dalam sel imajinerku

namun…
aku tetap
merangkak…
berdiri…
berjalan…
dan kembali berlari…

fenomena yang menjemukan
atas rasa
tanpa batas
tanpa belas

tak juga terjamah
aurora perasaanmu
dalam dimensi
yang telah kusuguhkan

aku letih…
aku tertatih…
aku ta ingin kembali…

lalu…
aku menangis…
berlanjut teriak…
agar kau paham
aku tak akan
merombak rasa ini
menjadi jasad tanpa nilai

hingga aku kembali
merangkak…
berdiri…
berjalan…
kemudian berlari…
lalu…
menangis
berlanjut
teriak

Lamongan, 19 September 2006

Senyap

Telah kusemarakkan dunia
dengan semarak yang agung…
dari saduran bayangan senja yang menggantung…
tapi,,,
Sunyi setia bereaksi dalam batas imajinasiku
Sebuah pandemic yang menggerogoti
rongga respirasi arwahku…

dengan susah payah…
kularutkan gumpalan senyap
dalam teriakanku…
tapi tak juga terlahir
taring-taring tawa
sebagai daya serap
atas kelebihan dosis kesepianku…

kemudian
kujejali berjuta-juta ton cairan
kental keramaian,
agar tergantikan pengap keheningan
dalam sel-sel aktif otakku…

kerontang energiku
menjadi uap tanpa bekas
karena
sepi…
hening…
dan
senyap…
telah menjadi tsunami
dalam batas kekosongan dimensiku….

LA, 18 Januari 2007

Senyap

Telah kusemarakkan dunia
dengan semarak yang agung…
dari saduran bayangan senja yang menggantung…
tapi,,,
Sunyi setia bereaksi dalam batas imajinasiku
Sebuah pandemic yang menggerogoti
rongga respirasi arwahku…

dengan susah payah…
kularutkan gumpalan senyap
dalam teriakanku…
tapi tak juga terlahir
taring-taring tawa
sebagai daya serap
atas kelebihan dosis kesepianku…

kemudian
kujejali berjuta-juta ton cairan
kental keramaian,
agar tergantikan pengap keheningan
dalam sel-sel aktif otakku…

kerontang energiku
menjadi uap tanpa bekas
karena
sepi…
hening…
dan
senyap…
telah menjadi tsunami
dalam batas kekosongan dimensiku….

LA, 18 Januari 2007
Ada tawa tertinggal…
Ada tangis berbekas…
Ada canda terukir…
Ada haru terpatri…

Semua tertimbun dalam museum 2007,

Biarkan mentari baru
menghimpun kembali langkah-langkah pergulirannya…
dan menghadirkan ruang baru bagi fosil-fosil adegan
yang kan terwujud dalam perjalanan kita selanjutnya

“HapPy New Year 2008”

Hope we’ll be better in the future

1 Januari 2008; 00.00 WIB

Si Kaki Kurus

Musim hujan mulai memasuki kota, menyapu sisa-sisa kemarau yang baunya menyengat dihempas deras hujan tadi malam. Ketika gerimis menyentuhkan jemarinya kepada aspal jalanan kota terik itu. Si kaki kurus diam, bukan mati, hanya sejenak melepas lelah di setiap sendinya yang tua dan rapuh. Proses perjalanan yang keras dan panjang membuat si kaki kurus keletihan. Seorang wanita dengan jas almameter kedodorannya melintasi si kaki kurus. Kemudian kembali, diamatinya si kaki kurus yang tengah mengistirahatkan kedua kelopak matanya. Dua bungkus roti dan selembar uang seribuan diletakkan di samping tubuh si kaki kurus. Wanita dengan jas almameternya memasang senyum dan membiarkan sepatu dengan tali kuningnya menyusuri trotoar Jogja, meninggalkan si kaki kurus sendirian. Gerimis telah berevolusi menjadi hujan, Kristal-kristal kondensasi yang mencair itu memaksa si kaki kurus mengalihkan tubuh rentanya dari tempat meditasi atas kehawatiran dan keletihan. Keterkejutan nampak melengkapi kerutan-kerutan di wajah tuanya, ketika dua bungkus roti dan selembar uang seribuan tiba-tiba menemaninya di kala dingin yang menusuk pori-pori mungilnya semakin ganas menghantam. Namun hanya sesaat, dengan sigap roti-roti itu telah memasuki rongga lambung si kaki kurus.
Gelap telah menyisir seluruh sudut kota Jogja, masih nampak bekas-bekas pertempuran bumi dan langit tadi siang. Aromaterapi bagi pecandu musim hujan yang beberapa bulan telah lenyap. Si kaki kurus bersandar pada tembok kumuh dengan cat yang mengelupas di beberapa bagiannya. Pikiran si kaki kurus menerawang, menyusun kembali potongan-potongan masa lalu dengan ingatan yang mulai pikun. Saat kakinya belum sekurus saat ini, duduk di kursi goyang di atas rumah panggungnya sambil menyelami makna jalinan tinta dalam sebuah kertas, surat dari anak satu-satunya.
Assalamualaikum Wr…..Wb…..
Yang terhormat Ayahandaku,
Bagaimana kabar ayahanda di kampung? Semoga ayahanda selalu dalam keadaan sehat. Alhamdulillah, Aris di Jogja juga baik-baik saja.
Dua minggu yang lalu, Aris telah selesai diwisuda dan langsung ditawari pekerjaan oleh salah satu perusahaan swasta di Jogja. Maafkan Aris baru bisa mengirim kabar sekarang, Aris sangat sibuk sekali sampai tak sempat mengirim surat. Aris mohon doa restu dari ayahanda agar Aris sukses di sini.
Wassalamualaikum Wr…..Wb…..
Salam hormat dan sayang dari putramu,

Aris
Selembar foto wisuda anaknya menemani kedatangan surat tersebut. Beberapa tahun, dengan penyakit encok yang semakin sering mampir di pinggangnya, si kaki kurus menghitung bilangan bulan pada kalender dan menanti kepulangan serta kabar dari putranya. Namun, warta tak kunjung menerobos ke gendang telingan yang mulai tak berfungsi dengan benar itu. Perkembangan industry telah merombak kampungnya menjadi pusat modernisasi industry. Rumah panggung dan tanah tempatnya berpijak tak lagi mampu bertahan dengan arus globalisasi. Bahkan nilai setiap sila dasar falsafah Negara tercinta kita, tak kokoh lagi memfilter serbuannya. Si kaki kurus pun mengocok-ocok isi pikirannya, dan memungut satu undian dari berbagai alternative pilihan yang memutar otak tuanya. Dia memutuskan untuk berlayar ke Jawa dan menelusuri kota perantauan putranya, Jogja, mencari sosok Aris di antara timbunan populasi manusia. Hingga kaki kurusnya semakin berkurang daging dan lemaknya. Atau bahkan, kulit epidermisnya telah menekan pembuluh nadinya semakin menjorok ke dalam. Namun, tak kunjung muncul sosok raut wajah si pemakai seragam wisuda. Tahun telah menggeser bulan dan musim telah berulang kali menyapa bumi kota Gudeg itu. Si kaki kurus merasa terjangan usia semakin membuatnya tak sekekar dan sesehat dulu. Namun, keinginan telah mengakar kuat pada otak kerutnya.
Tiba-tiba makhluk kecil berbulu kucel menghinggapi pahanya yang kendor. Si kaki kurus tersentak kaget, namun segera bermetamorfosis menjadi rasa iba dan empati. Kucing kecil dengan aki kurus seperti miliknya, tapi yang pasti tidak setua kalender usianya. “Kau terlalu manis dan kecil untuk kota sebesar ini, kucing”, gumam si kaki kurus tanpa suara. Kemudian dipeluknya si kucing sambil berlalu tidur.
Kabut masih berbaur ramah dengan panorama pagi buana kraton. Cahanya mentari sepertinya enggan menyingkap silhuet malam yang masih tertinggal. Bersembunyi di balik gerombolan mendung yang bergantung di langit Jogja. Sepertinya hujan akan mengiringi aktivitas lalu lintas kendaraan hari ini. Si kaki kurus terbangun, bukan karena sadar bahwa pagi telah menjemputnya kembali, tapi cipratan air sisa hujan kemarin yang digilas roda mobil telah membasahi kulitnya yang hitam dan kisut. Dipandangnya sekeliling, ramai dan sesak dengan kendaraan. “aku akan mencarikan uang untuk makan kita, kucing”, bergumam, lagi-lagi tanpa suara. Dipungutnya gelas air mineral bekas yang luput dari operasi pemulung harian. Si kaki kurus berjalan terseok menuju traffic light di perempatan jalan sambil menengadahkan gelasnya pada barisan kendaraan yang ingin segera melintasi jalanan asapal ini. Berbagai pose wajah dipasang makhluk-mahluk dalam kendaraan atas kehadiran si kaki kurus. Sebuah mobil avanza biru metallic terbuka ventilasi mewahnya. “Putri, tolong berikan recehan itu untuk pengemis di luar,” suara dari dalam mobil. Suara yang tak asing lagi bagi komponen organ pendengaran si kaki kurus. Bola mata si kaki kurus mencari-cari pemilik suara berat itu. Penglihatannya yang mulai rabun tak bisa memanipulasi raut wajah dalam mobil itu. Aris, anak yang telah membuatnya menjadi si kaki kurus yang kuat, duduk di dalamnya dengan seorang gadis berkepang dua. Si kaki kurus menangis dan berteriak, “Aris……ini bapakmu, nak!!!!!” . Lampu merah telah berganti kedudukan dengan lampu hijau, avanza biru metallic membawa jauh Aris yang tanpa respon apapun. Si kaki kurus memegang lehernya, ia sadar bahwa pita suara kecilnyatelah putus sejak ia diterima menjadi bagian natalitas dalam rumus kepadatan penduduk di ilmu geografi yang pernah dipelajarinya. Tersenyum, diusapnya lelehan dari kelenjar air matanya. Doa-doa yang telah dipanjatkannya tiap waktu didengar oleh sang penguasa alam semesta. Anak si kaki kurus telah berhasil merangkul kesuksesan dalam persaingan yang ketat dari kota tradisional ini. Si kaki kurus menghitung kumpulan receh dalam gelas air mineral bekas. Lalu memagut senyum pada kucing kecil berbulu kucel.
Kali ini langit sedang bersahabat dengan si kaki kurus. Tidak menyeringai ganas dengan sengatan panas seperti musim kemarau biasanya, tidak juga melemparkan butiran-butiran air dari kantong perutnya. Si kaki kurus melangkah, membiarkan kucing kecil kembali beradu kuat dengan spesiesnya, juga menyerahkan sandal jepitnya yang bolong melewati kota yang lembab.
Lembayung sore mengilhami petang sebagai perbatasan antara gelap dan terang. Si kaki kurus tetap saja menggerakkan kaki kurusnya untuk menemukan mutiara kecilnya dulu. Sebuah keyakinan dan doa telah menganugerahkan kekuatan besar bagi kedua tumit kakinya. Namun, kematian merupakan ketetapan yang telah tercantumkan dalam buku takdir sejak zaman azali, hanya Tuhan yang berhak atas kematian ciptaannya. Si kaki kurus mulai goyah, ruas-ruas sendinya mulai bergetar, proses pencabutan roh telah dimulai atas raganya. Doa terakhir diserukan dalam rongga mulutnya, meskipun tanpa suara,” izinkan hambamu ini memandang putranya untuk yang terakhir kali, Ya Allah”. Di seberang jalan tampak avanza biru metallic pagi tadi di perempatan jalan. Si kaki kurus tersenyum, berjuang dengan seluruh sisa tenaga yang masih melekat pada otot-otot kakinya yang rapuh. Tinggal selangkah lagi mencapai avanza biru metallic, tapi “bruuuk….!” Si kaki kurus terjerembab. Semua bola mata berburu pandang ke arah si kaki kurus, termasuk penumpang mobil avanza biru metallic, Aris serta istrinya. Rasa terkejut menghiasi rona wajah Aris, tak disangkanya si kaki kurus ini adalah bapak di kampung dulu, yang dengan tulusnya selalu mengirim doa-doa suci untuknya. Si kaki kurus mengapit senyum, berharap sepasang tangan yang telah dibesarkannya akan meraih tubuh tipisnya. “ kok bisa mas kenal sama pengemis kumuh kayak pak tua ini?” bisik istrinya dengan raut wajah penasaran. “ Ah….tidak! aku tak pernah kenal orang tua ini”, ucap Aris tanpa hasrat rindu sedikit pun. “ Ayo pulang saja! Toh kita juga tak kenal pengemis ini” perintah Aris angkuh. Avanza biru metallic berjalan lambat, kemudian melaju kencang menembus debu-debu kota. Si kaki kurus semakin menyusut senyumnya, menyusul tenaganya yang telah tercabut dari raganya. Perjalanan yang telah diukirnya selama ini telah direnggut oleh kebengisan evolusi kota atas Aris. Mobil ambulan menjemput mayat si kaki kurus dengan kaki kurusnya yang dingin tanpa hasil perjalanannya selama ini, tanpa Aris.

Selesai
Minggu, 17 Mei 2009

Prasangka


Agustus 2011, Lebaran
“Kret…..kret….” kursi goyang tua berayun pelan, derit kakinya yang telah kusam melindas ubin–ubin rumah minimalis bergaya eropa, suara yang merupakan komposisi bisu kayu berbau apek dengan bungkam ubin putih. Tubuh renta di atasnya sedang memagut sepi di ruangan tempat muara para tamu yang berkunjung sembari menyerucup teh manis, kopi pahit, atau cokelat hangat favorit pemilik hunian ini. Dinikmatinya hirupan oksigen ke dalam pipa alami hidungnya dan dirasakannya konser dari detakan jantung yang tak sinkron lagi dengan hitungan detik pada bilangan waktu yang mengambang pada tembok putih dengan miniatur cicak di sampingnya. “Ayah”, susunan alfabet konsonan dan vokal itulah yang dengan bangga kupersembahkan bagi tubuh renta yang ditutupi kulit kisut dihiasi relief pembuluh arteri dan vena. Berbeda dengan kedua saudara sedarahku yang memiliki respon tersendiri atas sikap ayah selama tahun-tahun, sewaktu usia kami masih merupakan bilangan yang kecil, ketika masalah keluarga mulai mencuat dan melebar menjadi sebuah konflik yang kompleks. Aku sebagai bagian yang paling bungsu dari tiga bersaudara tak bisa memvonis salah pada kedua kakak perempuanku ataupun pada ayah.
Hari ini adalah lebaran kedua setelah migrasi ayah ke rumahku di Bandung. Namun, setiap penghabisan Ramadhan kami selalu menjalankan rutinitas yang tak tertulis yaitu kembali ke suatu tempat awal semua kisah di mulai, ke tanah setiap pijakan telapak kaki dulu pertama kali menyentuhnya. Kami selalu mudik ke sebuah kampung kecil di pinggiran kota di Jawa Timur, menumpahkan tabungan kerinduan pada keluarga dan bercengkerama hingga larut malam, membiarkan anak-anak mengapresiasikan keasingan mereka dengan sepupu-sepupu yang hanya dapat bertatap muka setahun sekali, tapi semua peristiwa itu dilalui tanpa tokoh ayah. Tak perlu mengerutkan kening, ini adalah pilihan ayah yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Ayah lebih memilih untuk menghayati kesenyapan rumahku dan memandangi keheningan yang menggantung pada pojok-pojok ruang manapun setiap kali lebaran datang. Bukan karena kecintaannya yang teramat sangat pada marmer di serambi depan, tangga-tangga kayu menuju ruang keluarga, ataupun pada televisi layar datar yang selalu dinikmati ayah ketika acara drama pewayangan mulai ditayangkan. Prasangka yang dimiliki ayah terhadap ibu selama ini telah tertanam sangat dalam ke palung perasaannya. Suatu prasangka yang menciptakan ketidaksudian untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijadikan tempat perlindungannya dengan ibu ketika membesarkan tubuh mungilku serta kakak-kakakku. Suatu prasangka yang entah timbul dari arah mana telah menelusuk hati ayah. Telah berulang kali kujelaskan dan kuluruskan prasangka yang menjadi miliknya itu selama bertahun-tahun. Tapi, sepertinya isi kepala ayah telah berevolusi menjadi sistem pemerintahan orde baru yang tak pernah menerima sumbang pemikiran dari paham selain kepunyaannya sendiri, bahkan meskipun pemikiran tersebut berasal dari pahamku, dari anak kesayangannya.
***
Desember 2005
Malam mengadopsi pelataran gelap pada kumpulan sepi yang mencuat pada punuk kantuk. Molekul-molekul air berkamuflase menjadi embun, bereaksi dengan udara malam untuk meneror ketelanjangan alam. Simfoni makhluk malam digelar dalam paduan irama yang harmonis, meskipun terlalu bising jika kita sungguh-sungguh mengilhaminya. Namun, khusus untuk malam ini bertambah satu lagi adegan yang menghadirkan kerancuan pada potret malam.
“ Kok bisa bapak punya prasangka jelek sama ibu, bapak ini kerasukan syietan apa sih? Istighfar, pak!” suara wanita setengah tua dengan rona keterkejutan pada bingkai wajahnya.
“ Gak usah mengelak kamu. Aku ini tidak bodoh tau! Aku memang beda sama mantumu. Aku ngerti!” emosi mulai merambah dalam intonasi suara ayah.
“ Demi Allah, bapak, ibu gak pernah segila pikiran bapak. Darimana bapak dapat prasangka seperti itu?” ibu, wanita setengah tua tersebut mulai lirih.
“ Gak usah bawa Gusti Allah! Kamu ini najis”, kemarahan meletup pada ubun-ubun ayah.
            Tumitnya yang kasar menyentuh dagu ibu dengan letusan kemarahan, serta telapak tangan yang mendarat dengan ganas di pipi ibu sehingga meninggalkan bekas merah berkolaborasi dengan biru dan aliran eritrosit yang mulai mengucur pelan dari sudut bibir ibu. Menangis, ibu membiarkan kelenjar air matanya menyiratkan kekecewaan pada ayah.
“ Kalau bukan karena rere akan pulang, aku sudah minggat dari sini. Bapak sudah terlalu sering semena-mena seperti ini. Aku pegel, pegel, pak!” teriakan didampingi isak tangis mengiringi langkah ibu meninggalkan kamar tidurnya bersama ayah, menuju kamar yang lain di sudut barat rumah, kamarku.
***
November 2005
Lembayung sore memenuhi kanvas langit, mengarak kumpulan kondensasi air yang telah bermetamorfosis menjadi uap air pada altar angkasa. Matahari mulai mengayuh cahayanya, menjauhi kemunculan purnama di balik bukit sebelah timur. Terdengar deruman mesin mobil yang semakin memekikkan gendang telinga. Perbatasan antara petang dan malam itu, rumah menjadi riuh. Mbak Tari, kakak perempuan pertamaku beserta suami dan keponakan gadisku yang hampir menginjak usia empat tahun berkunjung ke rumah, atau lebih tepatnya akan menetap di rumah selama beberapa hari. Mbak Tari sedang hamil muda. Semua efek fisiologis akibat keberadaan si jabang bayi membuat urat-urat ototnya kehilangan banyak tenaga sehingga dia memutuskan untuk menjalani perawatan intensif gratis di rumah ibu dan ayah. Tubuhnya yang lemah tak mampu menanggulangi semua urusan rumah tangga di rumahnya. Apalagi gadis kecilnya yang masih belum genap empat tahun sering menimbulkan kepusingan pada otak Mbak Tari. Daftar permintaan gadis itu selalu panjang dan harus segera terpenuhi. Nabila, gadis kecil dengan setumpuk lembaran imajinasi yang selalu merepotkan hampir seluruh orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, seluruh keluarga kecilnya diboyong ke kediaman orang tua kami sehingga Mbak Tari dapat beristirahat dengan tenang tanpa menelantarkan Nabila yang selalu dijaga oleh ibu selama dia tinggal di sana.
Hitungan hari terus berjalan meninggalkan bilangan tanggal pada kalender yang terpampang di sebelah rak buku. Dua minggu telah berjalan semenjak Mbak Tari melakukan hijrah ke rumah orang tua kami. Festival pita suara memenuhi kelonggaran rumah yang cukup luas tersebut, keramaian menjadi pemandangan yang mengurung keheningan yang selama ini berakumulasi dalam atmosfer rumah ayah dan ibu karena rumah besar ini telah ditinggalkan oleh para ahli warisnya untuk mengurai alur kehidupan masing-masing. Mbak Tari yang telah membangun rumah tangganya sendiri, begitu juga dengan kakak perempuanku yang kedua, Mbak Santi yang telah membesarkan laki-laki kecil berusia genap setahun. Sedangkan aku sendiri tengah menjalani proses pendidikan di bangku kuliah yang jauh dari tanah kelahiranku, di sebuah universitas yang terkenal di Yogya. Tak heran jika selama menit, jam, dan hari di rumah besar itu hanya dinaungi rasa sepi. Namun, semenjak kepindahan Mbak Tari rumah menjadi ramai. Bukan karena lenguhan Mbak Tari yang sering muntah, atau dengung ngorok suaminya, Mas Radi, ketika malam datang. Tapi karena teriakan, nyanyian, serta keceriaan Nabila yang telah mampu mengusir iklim sunyi dalam rumah besar itu.
          Selama beberapa hari, awalnya semua masih baik-baik saja. Ibu yang sering bercanda dengan Mas Radi sambil mengawasi tingkah Nabila, melakukan obrolan ringan bersama seluruh keluarga ketika gelap menggeser senja, serta kesenyapan yang masih sering mampir ketika seluruh kelopak mata telah menutup, membawa damai bagi ruh yang terserang kelelahan. Namun, masalah mulai menyelinap masuk di antara panorama indah itu. Ketika suatu malam dengan gerimis yang mengguyur lapisan terluar pedosfer menyebabkan bau tanah yang lama tak di sentuh air hujan, ibu tidak berada di kamar. Ayah memutar bola mata dengan otot elastisnya untuk mencari keberadaan ibu. Kaki-kakinya yang mulai kisut dijatuhkan ke lantai, berjalan pelan dan perlahan dengan penuh selidik. Di dapatnya pintu kamar Mbak Tari dan Mas Radi yang terbuka. Dorongan penasaran yang teramat kuat memaksa ayah mengintip kamar Mbak Tari. Terbelalak kedua matanya yang masih digelayuti rasa kantuk ketika ditemukan sosok ibu di dalam kamar itu. Kemarahan tertahan pada kepalan tangannya, tercekat di sela kerongkongannya. Bukan karena kelancangan ibu mengganggu jatah istirahat putri dan mantunya. Tapi karena di dalam kamar itu, ayah dapati Mas Radi tanpa Mbak Tari. Prasangka buruk itu langsung menjadi virus ganas dalam benak ayah. Prasangka bahwa ibu telah melakukan perselingkuhan dengan mantunya sendiri. Ayah langsung beranjak ke kamarnya kembali. Berlagak tidak terjadi apapun. Siasat telah direncanakan oleh ayah untuk mengeluarkan Mbak Tari beserta Mas Radi dari rumah tersebut.
Silhuet malam telah tersungkur dengan kehadiran mentari. Gutasi pada pucuk-pucuk hijau daun menetes di tanah yang masih lembab karena hujan tadi malam. Ibu mulai membereskan seluruh pekerjaan rumah tangga, berkali-kali berpapasan dengan ayah. Namun, bibir ayah hanya diselimuti dengan hawa kebisuan. Tak seperti biasanya dengan sapaan canda menggoda ibu yang bingung dengan kesibukannya. Ibu tak ambil pusing dengan perubahan sikap ayah, karena ibu sendiri tengah sibuk mondar-mandir melakukan multijob di rumah besar berpenghuni lima manusia itu. Sikap yang sama diberlakukan kepada Mas Radi yang paling peka dengan perubahan signifikan pada ayah. Banyak pertanyaan terpasang di kepala Mas Radi hingga akhirnya dia memutuskan untuk membahasnya dengan Mbak Tari mengenai sikap ayah. Mbak Tari yang memang temperamental tinggi langsung menyimpulkan bahwa ayah bosan dengan kehadiran mereka yang hanya membuat susah. Apalagi selama ini, Mbak Tari selalu tidak sependapat dengan sikap ayah yang mengusir dan mengutuk Mbak Santi yang telah menikah dengan pria yang tidak disetujuinya, termasuk juga sikap berat sebelah ayah di antara ketiga putrinya. Mbak Tari emosi, dikemasnya semua barang mereka. Setelah berpamitan dengan ayah dan ibu, Mbak Tari angkat kaki dari lantai rumah itu. Ayah hanya diam, tetap pada kebisuannya. Sedangkan ibu dengan giat mengikuti Mbak Tari keluar pintu sambil mengajukan sejuta pertanyaan tentang kepulangannya yang tiba-tiba.
“ Tanya pada Ayah, bu! Tari pulang”, tuturnya pada ibu seraya mencium pipi ibu.
Mobil melaju pelan, perlahan semakin kencang, kemudian melesat meninggalkan ibu terpaku di depan pintu dengan kebingungan. Semua telah berubah, keluarga ini tak lagi utuh. Prasangka buruk itu telah menyerang ayah terlebih dahulu sebelum ayah mengetahui bahwa pada malam beraksesoris hujan itu bukan hanya ibu dan Mas Radi yang berada di dalam kamar, tapi Mbak Tari juga di dalam kamar tersebut. Hanya saja Mbak Tari keluar sebentar untuk mengambil minyak angin di kamar Nabila. Ia berniat meminta ibu untuk mengerok punggungnya karena muntah-muntahnya tak pernah berhenti sepanjang malam itu. Mbak Tari takut ia masuk angin. Hingga akhirnya kesalahpahaman ini meruncing pada malam Desember 2008 yang menyebabkan ayah dan ibu mengakhiri keharmonisan rumah tangga yang telah dibangun selama beberapa tahun.
***
Agustus 2011, Penghabisan Ramadhan
Nyanyian deru mesin mobil yang dihidupkan oleh Mas Anton, suamiku, mengejutkan lamunan yang dengan asyik kuputar dalam memori yang sempat tertimbun oleh kesibukanku sebagai wanita karir serta ibu rumah tangga. Putra pertamaku yang masih berusia 7 bulan sedang dibopong oleh ayah untuk menikmati taman-taman sekitar rumah sementara kami menyiapkan keperluan untuk kembali ke Jawa Timur, tempat awal seluruh kisah ini dimulai.
“Mi, mesinnya udah panas nih! Jadi gak mudik?? Kuk malah nglamun melulu”, teriakan Mas Anton dari dalam mobil.
“Ah, iya! Tunggu….” Sahutku dari serambi depan rumah, ”ayah yakin tidak mau ikut lebaran di kampung??” Tanyaku pada ayah yang sedang menyerahkan putraku ke gendongan.
“Tidak! Pergilah”, jawab ayah singkat tanpa titipan salam untuk keluarganya di kampung termasuk ibu.
Kuberjalan pelan menuju mobil, kompilasi dari lemah dan kecewa atas sikap ayah yang telah membatu seperti prasasti. Mobil melesat menghempas debu halaman rumah yang selalu hadir meskipun telah berulang kali di sapu oleh mak iyem. Melalui jendela mobil kuamati pandangan ayah yang menerawang ke arah kami, ada jalinan kerinduan yang teramat dalam di kedua bola matanya, kerinduan yang telah kalah oleh prasangka, kerinduan kepada ibu. 
“HATI-HATI……….”, teriak ayah dengan lambaian tangan serta titipan rindu yang tak pernah tersampaikan, rindu terhadap ibu.
                                                                 Selesai

 
Copyright 2009 Padang Mimpi