Minggu, 17 Mei 2009

Prasangka


Agustus 2011, Lebaran
“Kret…..kret….” kursi goyang tua berayun pelan, derit kakinya yang telah kusam melindas ubin–ubin rumah minimalis bergaya eropa, suara yang merupakan komposisi bisu kayu berbau apek dengan bungkam ubin putih. Tubuh renta di atasnya sedang memagut sepi di ruangan tempat muara para tamu yang berkunjung sembari menyerucup teh manis, kopi pahit, atau cokelat hangat favorit pemilik hunian ini. Dinikmatinya hirupan oksigen ke dalam pipa alami hidungnya dan dirasakannya konser dari detakan jantung yang tak sinkron lagi dengan hitungan detik pada bilangan waktu yang mengambang pada tembok putih dengan miniatur cicak di sampingnya. “Ayah”, susunan alfabet konsonan dan vokal itulah yang dengan bangga kupersembahkan bagi tubuh renta yang ditutupi kulit kisut dihiasi relief pembuluh arteri dan vena. Berbeda dengan kedua saudara sedarahku yang memiliki respon tersendiri atas sikap ayah selama tahun-tahun, sewaktu usia kami masih merupakan bilangan yang kecil, ketika masalah keluarga mulai mencuat dan melebar menjadi sebuah konflik yang kompleks. Aku sebagai bagian yang paling bungsu dari tiga bersaudara tak bisa memvonis salah pada kedua kakak perempuanku ataupun pada ayah.
Hari ini adalah lebaran kedua setelah migrasi ayah ke rumahku di Bandung. Namun, setiap penghabisan Ramadhan kami selalu menjalankan rutinitas yang tak tertulis yaitu kembali ke suatu tempat awal semua kisah di mulai, ke tanah setiap pijakan telapak kaki dulu pertama kali menyentuhnya. Kami selalu mudik ke sebuah kampung kecil di pinggiran kota di Jawa Timur, menumpahkan tabungan kerinduan pada keluarga dan bercengkerama hingga larut malam, membiarkan anak-anak mengapresiasikan keasingan mereka dengan sepupu-sepupu yang hanya dapat bertatap muka setahun sekali, tapi semua peristiwa itu dilalui tanpa tokoh ayah. Tak perlu mengerutkan kening, ini adalah pilihan ayah yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Ayah lebih memilih untuk menghayati kesenyapan rumahku dan memandangi keheningan yang menggantung pada pojok-pojok ruang manapun setiap kali lebaran datang. Bukan karena kecintaannya yang teramat sangat pada marmer di serambi depan, tangga-tangga kayu menuju ruang keluarga, ataupun pada televisi layar datar yang selalu dinikmati ayah ketika acara drama pewayangan mulai ditayangkan. Prasangka yang dimiliki ayah terhadap ibu selama ini telah tertanam sangat dalam ke palung perasaannya. Suatu prasangka yang menciptakan ketidaksudian untuk menginjakkan kaki di rumah yang pernah dijadikan tempat perlindungannya dengan ibu ketika membesarkan tubuh mungilku serta kakak-kakakku. Suatu prasangka yang entah timbul dari arah mana telah menelusuk hati ayah. Telah berulang kali kujelaskan dan kuluruskan prasangka yang menjadi miliknya itu selama bertahun-tahun. Tapi, sepertinya isi kepala ayah telah berevolusi menjadi sistem pemerintahan orde baru yang tak pernah menerima sumbang pemikiran dari paham selain kepunyaannya sendiri, bahkan meskipun pemikiran tersebut berasal dari pahamku, dari anak kesayangannya.
***
Desember 2005
Malam mengadopsi pelataran gelap pada kumpulan sepi yang mencuat pada punuk kantuk. Molekul-molekul air berkamuflase menjadi embun, bereaksi dengan udara malam untuk meneror ketelanjangan alam. Simfoni makhluk malam digelar dalam paduan irama yang harmonis, meskipun terlalu bising jika kita sungguh-sungguh mengilhaminya. Namun, khusus untuk malam ini bertambah satu lagi adegan yang menghadirkan kerancuan pada potret malam.
“ Kok bisa bapak punya prasangka jelek sama ibu, bapak ini kerasukan syietan apa sih? Istighfar, pak!” suara wanita setengah tua dengan rona keterkejutan pada bingkai wajahnya.
“ Gak usah mengelak kamu. Aku ini tidak bodoh tau! Aku memang beda sama mantumu. Aku ngerti!” emosi mulai merambah dalam intonasi suara ayah.
“ Demi Allah, bapak, ibu gak pernah segila pikiran bapak. Darimana bapak dapat prasangka seperti itu?” ibu, wanita setengah tua tersebut mulai lirih.
“ Gak usah bawa Gusti Allah! Kamu ini najis”, kemarahan meletup pada ubun-ubun ayah.
            Tumitnya yang kasar menyentuh dagu ibu dengan letusan kemarahan, serta telapak tangan yang mendarat dengan ganas di pipi ibu sehingga meninggalkan bekas merah berkolaborasi dengan biru dan aliran eritrosit yang mulai mengucur pelan dari sudut bibir ibu. Menangis, ibu membiarkan kelenjar air matanya menyiratkan kekecewaan pada ayah.
“ Kalau bukan karena rere akan pulang, aku sudah minggat dari sini. Bapak sudah terlalu sering semena-mena seperti ini. Aku pegel, pegel, pak!” teriakan didampingi isak tangis mengiringi langkah ibu meninggalkan kamar tidurnya bersama ayah, menuju kamar yang lain di sudut barat rumah, kamarku.
***
November 2005
Lembayung sore memenuhi kanvas langit, mengarak kumpulan kondensasi air yang telah bermetamorfosis menjadi uap air pada altar angkasa. Matahari mulai mengayuh cahayanya, menjauhi kemunculan purnama di balik bukit sebelah timur. Terdengar deruman mesin mobil yang semakin memekikkan gendang telinga. Perbatasan antara petang dan malam itu, rumah menjadi riuh. Mbak Tari, kakak perempuan pertamaku beserta suami dan keponakan gadisku yang hampir menginjak usia empat tahun berkunjung ke rumah, atau lebih tepatnya akan menetap di rumah selama beberapa hari. Mbak Tari sedang hamil muda. Semua efek fisiologis akibat keberadaan si jabang bayi membuat urat-urat ototnya kehilangan banyak tenaga sehingga dia memutuskan untuk menjalani perawatan intensif gratis di rumah ibu dan ayah. Tubuhnya yang lemah tak mampu menanggulangi semua urusan rumah tangga di rumahnya. Apalagi gadis kecilnya yang masih belum genap empat tahun sering menimbulkan kepusingan pada otak Mbak Tari. Daftar permintaan gadis itu selalu panjang dan harus segera terpenuhi. Nabila, gadis kecil dengan setumpuk lembaran imajinasi yang selalu merepotkan hampir seluruh orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, seluruh keluarga kecilnya diboyong ke kediaman orang tua kami sehingga Mbak Tari dapat beristirahat dengan tenang tanpa menelantarkan Nabila yang selalu dijaga oleh ibu selama dia tinggal di sana.
Hitungan hari terus berjalan meninggalkan bilangan tanggal pada kalender yang terpampang di sebelah rak buku. Dua minggu telah berjalan semenjak Mbak Tari melakukan hijrah ke rumah orang tua kami. Festival pita suara memenuhi kelonggaran rumah yang cukup luas tersebut, keramaian menjadi pemandangan yang mengurung keheningan yang selama ini berakumulasi dalam atmosfer rumah ayah dan ibu karena rumah besar ini telah ditinggalkan oleh para ahli warisnya untuk mengurai alur kehidupan masing-masing. Mbak Tari yang telah membangun rumah tangganya sendiri, begitu juga dengan kakak perempuanku yang kedua, Mbak Santi yang telah membesarkan laki-laki kecil berusia genap setahun. Sedangkan aku sendiri tengah menjalani proses pendidikan di bangku kuliah yang jauh dari tanah kelahiranku, di sebuah universitas yang terkenal di Yogya. Tak heran jika selama menit, jam, dan hari di rumah besar itu hanya dinaungi rasa sepi. Namun, semenjak kepindahan Mbak Tari rumah menjadi ramai. Bukan karena lenguhan Mbak Tari yang sering muntah, atau dengung ngorok suaminya, Mas Radi, ketika malam datang. Tapi karena teriakan, nyanyian, serta keceriaan Nabila yang telah mampu mengusir iklim sunyi dalam rumah besar itu.
          Selama beberapa hari, awalnya semua masih baik-baik saja. Ibu yang sering bercanda dengan Mas Radi sambil mengawasi tingkah Nabila, melakukan obrolan ringan bersama seluruh keluarga ketika gelap menggeser senja, serta kesenyapan yang masih sering mampir ketika seluruh kelopak mata telah menutup, membawa damai bagi ruh yang terserang kelelahan. Namun, masalah mulai menyelinap masuk di antara panorama indah itu. Ketika suatu malam dengan gerimis yang mengguyur lapisan terluar pedosfer menyebabkan bau tanah yang lama tak di sentuh air hujan, ibu tidak berada di kamar. Ayah memutar bola mata dengan otot elastisnya untuk mencari keberadaan ibu. Kaki-kakinya yang mulai kisut dijatuhkan ke lantai, berjalan pelan dan perlahan dengan penuh selidik. Di dapatnya pintu kamar Mbak Tari dan Mas Radi yang terbuka. Dorongan penasaran yang teramat kuat memaksa ayah mengintip kamar Mbak Tari. Terbelalak kedua matanya yang masih digelayuti rasa kantuk ketika ditemukan sosok ibu di dalam kamar itu. Kemarahan tertahan pada kepalan tangannya, tercekat di sela kerongkongannya. Bukan karena kelancangan ibu mengganggu jatah istirahat putri dan mantunya. Tapi karena di dalam kamar itu, ayah dapati Mas Radi tanpa Mbak Tari. Prasangka buruk itu langsung menjadi virus ganas dalam benak ayah. Prasangka bahwa ibu telah melakukan perselingkuhan dengan mantunya sendiri. Ayah langsung beranjak ke kamarnya kembali. Berlagak tidak terjadi apapun. Siasat telah direncanakan oleh ayah untuk mengeluarkan Mbak Tari beserta Mas Radi dari rumah tersebut.
Silhuet malam telah tersungkur dengan kehadiran mentari. Gutasi pada pucuk-pucuk hijau daun menetes di tanah yang masih lembab karena hujan tadi malam. Ibu mulai membereskan seluruh pekerjaan rumah tangga, berkali-kali berpapasan dengan ayah. Namun, bibir ayah hanya diselimuti dengan hawa kebisuan. Tak seperti biasanya dengan sapaan canda menggoda ibu yang bingung dengan kesibukannya. Ibu tak ambil pusing dengan perubahan sikap ayah, karena ibu sendiri tengah sibuk mondar-mandir melakukan multijob di rumah besar berpenghuni lima manusia itu. Sikap yang sama diberlakukan kepada Mas Radi yang paling peka dengan perubahan signifikan pada ayah. Banyak pertanyaan terpasang di kepala Mas Radi hingga akhirnya dia memutuskan untuk membahasnya dengan Mbak Tari mengenai sikap ayah. Mbak Tari yang memang temperamental tinggi langsung menyimpulkan bahwa ayah bosan dengan kehadiran mereka yang hanya membuat susah. Apalagi selama ini, Mbak Tari selalu tidak sependapat dengan sikap ayah yang mengusir dan mengutuk Mbak Santi yang telah menikah dengan pria yang tidak disetujuinya, termasuk juga sikap berat sebelah ayah di antara ketiga putrinya. Mbak Tari emosi, dikemasnya semua barang mereka. Setelah berpamitan dengan ayah dan ibu, Mbak Tari angkat kaki dari lantai rumah itu. Ayah hanya diam, tetap pada kebisuannya. Sedangkan ibu dengan giat mengikuti Mbak Tari keluar pintu sambil mengajukan sejuta pertanyaan tentang kepulangannya yang tiba-tiba.
“ Tanya pada Ayah, bu! Tari pulang”, tuturnya pada ibu seraya mencium pipi ibu.
Mobil melaju pelan, perlahan semakin kencang, kemudian melesat meninggalkan ibu terpaku di depan pintu dengan kebingungan. Semua telah berubah, keluarga ini tak lagi utuh. Prasangka buruk itu telah menyerang ayah terlebih dahulu sebelum ayah mengetahui bahwa pada malam beraksesoris hujan itu bukan hanya ibu dan Mas Radi yang berada di dalam kamar, tapi Mbak Tari juga di dalam kamar tersebut. Hanya saja Mbak Tari keluar sebentar untuk mengambil minyak angin di kamar Nabila. Ia berniat meminta ibu untuk mengerok punggungnya karena muntah-muntahnya tak pernah berhenti sepanjang malam itu. Mbak Tari takut ia masuk angin. Hingga akhirnya kesalahpahaman ini meruncing pada malam Desember 2008 yang menyebabkan ayah dan ibu mengakhiri keharmonisan rumah tangga yang telah dibangun selama beberapa tahun.
***
Agustus 2011, Penghabisan Ramadhan
Nyanyian deru mesin mobil yang dihidupkan oleh Mas Anton, suamiku, mengejutkan lamunan yang dengan asyik kuputar dalam memori yang sempat tertimbun oleh kesibukanku sebagai wanita karir serta ibu rumah tangga. Putra pertamaku yang masih berusia 7 bulan sedang dibopong oleh ayah untuk menikmati taman-taman sekitar rumah sementara kami menyiapkan keperluan untuk kembali ke Jawa Timur, tempat awal seluruh kisah ini dimulai.
“Mi, mesinnya udah panas nih! Jadi gak mudik?? Kuk malah nglamun melulu”, teriakan Mas Anton dari dalam mobil.
“Ah, iya! Tunggu….” Sahutku dari serambi depan rumah, ”ayah yakin tidak mau ikut lebaran di kampung??” Tanyaku pada ayah yang sedang menyerahkan putraku ke gendongan.
“Tidak! Pergilah”, jawab ayah singkat tanpa titipan salam untuk keluarganya di kampung termasuk ibu.
Kuberjalan pelan menuju mobil, kompilasi dari lemah dan kecewa atas sikap ayah yang telah membatu seperti prasasti. Mobil melesat menghempas debu halaman rumah yang selalu hadir meskipun telah berulang kali di sapu oleh mak iyem. Melalui jendela mobil kuamati pandangan ayah yang menerawang ke arah kami, ada jalinan kerinduan yang teramat dalam di kedua bola matanya, kerinduan yang telah kalah oleh prasangka, kerinduan kepada ibu. 
“HATI-HATI……….”, teriak ayah dengan lambaian tangan serta titipan rindu yang tak pernah tersampaikan, rindu terhadap ibu.
                                                                 Selesai

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Padang Mimpi