Senin, 02 Februari 2015

Kakak Hebat



Teknologi telah mengantarkan percakapan dan pertemuan kami melalui social media dan pesan singkat. Segan, sungkan, canggung, tapi kami selalu melanjutkan obrolan maya yang semula hanya perkenalan basa-basi menjadi obrolan hangat dan terkadang candaan, bahkan olok-olokkan. Suasana cair, setiap akhir minggu kusisakan sedikit waktu untuk mengenal sosok pengajar muda VII ini yang akan segera kulanjutkan tongkat estafetnya. 

Detik bergulir, menit, jam, dan hari mengikuti rotasi dan revolusi bumi, baik terhadap bulan maupun matahari, hingga akhirnya tiba waktu dimana kami hidup dalam obrolan yang nyata tanpa teknologi alat komunikasi lagi, 21 Desember 2014. Menyebalkan, jutek, sadis, tukang cibir, tapi seluruh permukaan tersebut hanya kamuflase. Beliau merupakan pengajar muda VII paling renta di Kabupaten Majene, dewasa, baik, humble, tulus, dan perhatian. Beruntung sekali dipertemukan dengan beliau, meskipun tukang cibir dan sindir yang selalu berujung di aku sebagai korban. 

"Untukmu yang punya mata sipit, terima kasih telah membuka tangan dan menerimaku sebagai penerusmu. Untukmu yang suka usil dan terkadang menyebalkan, terima kasih telah memberi banyak hal, bukan hanya ilmu tapi juga kasih sayang. Untukmu yang suka ditakuti anak-anak, terima kasih telah menitipkan aku di keluarga dan masyarakat yang sangat baik. Untukmu yang suka marah-marah, terima kasih untuk 2 minggu yang sangat istimewa. Untukmu yang sangat ditangisi kepergiannya oleh banyak orang, terima kasih telah menjadi kakak yang super hebat dan keren"

~Tulisan sederhana ini didedikasikan untuk Alumni Pengajar Muda VII Buttutala paling renta~
Minggu, 01 Februari 2015

Atraksi di Aspal Jalan Majene-Mamuju



Alarm menjerit dengan serampangan, semakin lama semakin keras dan mengganggu indra pendengaranku. Pukul 04.00 WITA, aku terbangun dengan tergesa-gesa, menuju ke kamar mandi dan membasahi wajah, berharap dapat mengusir kantuk dan mereduksi sedikit kelelahan akibat begadang untuk rapat audiensi program. Dua puluh menit berlalu, tas ransel besar bertuliskan Indonesia Mengajar yang merupakan peninggalan kakak PM VII tercinta yaitu Mas Ifan, telah melekat di punggunggku. Ocy memanggil dari balik punggung, dia hendak menumpang motor bapak angkatku, tapi aku paham betul bahwa niat sesungguhnya Ocy adalah menemaniku yang nekat pulang pagi buta, kuperbolehkan dia menjadi teman perjalanan pulang ke dusun.
Subuh yang dingin, beberapa terlihat penduduk Majene yang sedang berangkat menuju Masjid untuk melaksanakan Shalat Subuh. Jalanan dari Kabupaten Majene ke arah Mamuju masih lengang dan bahkan masih gelap di beberapa titik. Jalur masih bersahabat, cuma sesekali melewati jalan berkelok yang lumayan tajam tanpa penerangan jalan, hanya mengandalkan lampu motor.
Kecamatan Sendana, kami sampai di tujuan pertama, tempat pengabdian Ocy. Tiba saatnya memulai perjalanan pertama mengendarai motor seorang diri menuju Kecamatan Malunda, menyeramkan, antara gamang dan nekat. Akhirnya kuberanikan diri untuk melalui perjalanan sepanjang 80 Km dengan jalanan berkelok, turun-naik, dan sesekali lubang menganga di tengah jalan. Wajah ceria anak-anakku ketika berangkat sekolah, tubuh kecil berbalut seragam sekolah di pagi hari yang masih berkabut dan terkadang gerimis kecil, suara mereka yang menyapa “Bu Guru” sambil bercerita tentang macam-macam kisah dengan Bahasa Mandar yang dipoles sedikit dengan Bahasa Indonesia, suasana seperti ini lebih menarik bagiku untuk datang ke sekolah daripada harus ketakutan dengan perjalanan seorang diri. Demi mereka, pagi ini aku menerjang dingin, gelap, dan kegamanganku pada jalanan berkelok.
Jam tangan casio hitam menunjukkan pukul 06.00 WITA, kecepatan motor kunaikkan untuk dapat mengikuti pelaksanaan upacara di sekolah. Beberapa saat setelah melewati jembatan, aku tersentak kaget dengan lubang besar di tengah jalan, keseimbanganku terganggu, akhirnya motorku oleng. Kepala terbentur aspal, mataku gelap karena darah yang mengucur, perlahan kekuatanku melemah, tersisa sedikit tenaga untuk menjerit minta tolong sebelum akhirnya kesadaranku menghilang.
Rasa ngilu dan perih memaksa kesadaranku kembali. Kedua mataku terbuka, tapi penglihatan masih kabur. Seorang Ibu dan beberapa orang asing berada di sekitar ranjangku, aku berada di pusat kesehatan. “Nak, ini sudah di puskesmas. Kamu di sini tinggal dimana?  Sama siapa nak?”, Ibu tersebut bertanya di dekat telingaku. Tiba-tiba rasanya seluruh ingatanku sedang mengambang hendak lari, antara nyata dan tidak nyata, antara percaya dan tidak percaya bahwa seluruh yang berlarian di memori otakku adalah ingatanku tentang kehidupan sebelumnya. Pelan-pelan kupungut ingatan-ingatan yang hampir hilang tersebut, “Sa...saya ikut orang tua angkat. Ehm..namanya Bapak Upi”, dengan pandangan yang masih kabur, kulihat ibu tersebut menelpon seseorang. Aku meringis kesakitan, seorang perawat membersihkan luka di lutut yang sangat lebar, serta luka di pergelangan tangan sebelah kiri dan siku sebelah kanan.
Tubuhku dipindahkan ke ruang perawatan menggunakan kursi roda. Celana tidur koyak hingga selangkangan, sarung bermotif kotak besar menutupinya agar tidak jadi bahan tontonan para pengunjung, pasien maupun petugas kesehatan. Beberapa menit kemudian, Ocy datang tergopoh-gopoh, meninggalkan sekolah dan anak-anaknya untuk menjenguk dan menjagaku. Tidak berapa lama, bapak angkatku tiba dengan raut muka khawatir, disusul Pak Kepala Sekolah, Pak Odank, Saudara Pak Bau (Sekretaris Daerah) dengan membawakan bubur dan macam-macam makanan yang tidak mampu masuk mulut karena bibir yang sobek. Beberapa warga sekitar Puskesmas Sendana II turut berkunjung, bahkan aku pun tak mengenal mereka karena lokasi penempatanku yang masih sangat jauh. Sekitar jam 11.00 WITA Bapak Kepala UPTD Malunda datang dan seketika itu menyelesaikan berbagai urusan administrasi, menjemputku untuk dirawat di rumahnya hingga kondisi stabil dan mampu untuk menembus jalanan ekstrem menuju dusun.
Pertama kali dalam hidupku, benar-benar merasa menjadi manusia paling berharga, seluruh orang memperhatikan kondisiku, seperti porselen, dijaga sekali agar tidak lecet barang sedikit pun. Selama 3 hari dan 2 malam, berbagai teman dan kerabat dari orang tua angkat silih berganti berdatangan. Saudara-saudara seperjuangan juga datang untuk melimpahkan banyak penghiburan, meskipun aku kesakitan untuk tertawa, sangat melegakan bahwa kami berdelapan memang telah menjadi saudara dalam kondisi sesulit apapun. Seseorang yang sedang mengabdi di Provinsi Sebelah juga tak henti untuk memastikan keadaan dan selalu mengkhawatirkanku. Luar biasa, kasih sayang yang datang dari banyak penjuru. Terima kasih telah memberiku keluarga dan teman-teman yang begitu tulus, Allah. Terima kasih juga masih mengizinkanku untuk membuka mata setelah pingsan sepanjang 6 Km dari lokasi kecelakaan sampai ke puskesmas. Terima kasih masih mengizinkanku untuk melihat dan mengajar anak-anak lagi. Terima kasih telah menghadirkan seseorang yang meskipun jauh tak luput untuk memberi semangat.
 
*Cerita ditulis pasca seminggu kecelakaan*

Fotografer Amatir

     Tanganku sedang melakukan eksperimen dengan benda hitam yang cukup besar bagi kedua telapak tanganku. Kumainkan lensanya untuk memperoleh fokus objek jauh dan dekat, sungguh hebat benda ini. Benda yang penuh dengan macam-macam tombol ini, memang tidak asing bagi saraf-saraf penglihatanku, tapi tidak bagi saraf-saraf perabaku. Benda ini mungkin hanya mengenaliku sebagai objek, tidak sebagai operatornya.
“Klik...Klik...Klik...”, suara yang terdengar setiap kupencet tombolnya
“Asyik ya, kak! Rasanya seperti dapat mainan baru”, bisik Kadek di telingaku
“Betul juga ya!”, jawabku dalam batin
     Tanggung jawab sebagai fotografer memaksaku mau tidak mau untuk mengutak-atik benda high level ini, kamera DSLR. Menyenangkan, tidak perlu menjadi objek untuk merasakan kesenangan, bahkan merekam mimik muka dan perasaan orang-orang dalam foto pun bisa menjadi sebuah kesenangan, tak perduli lagi bahwa aku sendiri tidak ada dalam foto. Terima kasih Kadek atas kepercayaannya padaku untuk mengoperasikan kamera dan terima kasih untuk Acara Forum Keberlanjutan atas kesempatan menjadi fotografer.

Ruang Sidang Bupati Majene, 22 Des 2015


Satu Langkah Awal

      Awan-awan ini adalah awan yang sama seperti yang setiap hari kami nikmati di kala fajar menyingsing. Namun, kali ini awan-awan tersebut memandu rasa yang berbeda, menyodorkan kekuatan yang tak berbatas. Awan-awan yang beradu dengan sayap-sayap pesawat yang membawa kami ke sebuah bumi pengabdian, Pulau Sulawesi.
     Roda pesawat menjejak aspal landasan dengan tenang, tanpa goncangan, tapi bukankah perasaanku sudah terlanjur tergoncang dengan sendirinya? Goncangan yang mengaduk macam-macam emosi hingga aku sendiri susah payah untuk mengidentifikasi rasa yang bergemuruh dalam diriku. Fix!! Kami berdiri di Tanah Sulawesi, hendak berbagi dan mengabdi, tidak muluk-muluk untuk memperbaiki dan menuntaskan segala masalah yang dikandung negara ini, tapi kami memberikan iuran setahun kesempatan kami bernafas untuk membantu masyarakat Mandar menyelesaikan masalah pendidikan.
        Di luar bandara, orang-orang hebat sedang menanti kedatangan kami. Orang-orang hebat yang hampir menyelesaikan masa pengabdian mereka di Tanah Mandar, orang-orang hebat yang telah menyuplai banyak perubahan dan berkontribusi sebaik-baiknya, orang-orang hebat yang sempat berkomunikasi hanya melalui media sosial dan pesan pribadi. Saat ini, kami saling bertatap muka dan aku sendiri menata rasa yang porak-poranda akibat goncangan, membunuh espektasi yang tercipta dengan sendirinya dalam ruang pikiranku. Orang-orang hebat ini akan menjadi guide selama 2 minggu ke depan sebelum akhirnya mereka merelakan kami sebagai pelari terakhir dan melanjutkan perjuangan mereka, terima kasih untuk 8 Pengajar Muda angkatan VII.

Bandara Hasanuddin, 22 Desember 2014

Rina Anggraeni Safia



Dini Hari yang Tak Biasa

    Dini hari yang tak biasa, carrier berbagai volume, daypack dengan bermacam-macam brand mulai dari yang kelas rendah hingga kelas tinggi, serta beberapa koper yang tetap keukeuh untuk dibawa serta dalam perjalanan yang sangat luar biasa, barangkali. Dini hari yang tak biasa, kamar-kamar yang semestinya sudah terlelap, kini riuh oleh manusia-manusia yang akan mengabdikan setahun hidupnya untuk bergelut dengan rimba, laut, gunung, dan jalanan tanpa aspal. Dini hari yang memang tak biasa, 52 orang saling melepas air mata untuk bertemu kembali setelah berbagi tawa dan semangat kepada anak-anak di pelosok negeri.
      Dan dini hari ini cukuplah  sebagai  dini hari yang tak biasa, karena banyak cinta kubawa pergi bersamaku sebagai penguat langkah di tanah rantau yang memang tak biasa. Kuayunkan satu per satu langkahku untuk menjemput senyum anak-anak puncak gunung di SDN 33 Buttutala, Kec.Malunda, Kab. Majene, Propinsi Sulawesi Barat. Sampai jumpa tahun depan Pulau Jawa.


Jakarta, 21 Desember 2014

Safia


 
Copyright 2009 Padang Mimpi