Selasa, 31 Mei 2011

Waktu




Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?….
Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.
Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim. Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.
Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi,
Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan.

Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.
Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya?
Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain?
Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.

~Kahlil Gibran dalam Zainurie~
Sabtu, 28 Mei 2011

Meneropong Sinergisitas Peran Guru, Fasilitator, dan Orang Tua dalam Dunia Pendidikan


Pendidikan merupakan salah satu proses untuk membentuk insan yang memiliki bekal ilmu pengetahuan yang luas, serta mampu mengaplikasikannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan diharapkan mampu memproduksi generasi penerus yang memiliki skill sesuai bakat dan minat masing-masing individu, disamping itu melalui pendidikan diharapkan mampu menyeimbangkan tumbuh kembang nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas anak didik, sehingga dapat dihasilkan manusia yang berintelektual tinggi dengan buffer nilai-nilai moral untuk membentuk pribadi yang luhur, mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Seiring perkembangan zaman dan dinamisasi kondisi pendidikan dari waktu ke waktu membawa perubahan proses dan orientasi pendidikan yang tidak lagi sesuai hakikat awalnya. Pendidikan di Negara kita mengalami proses dehumanisasi, melihat semakin terabrasinya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dewasa ini banyak kasus yang muncul ke permukaan yang dapat membuktikan degradasi peran pendidikan dalam nilai-nilai moral dan kemanusiaan, yaitu salah satunya kasus korupsi telah menjadi wabah yang mengakar dalam budaya bangsa Indonesia. Para intelek bangsa yang merupakan buah hati pendidikan, yang diharapkan mampu membenahi nasib golongan bawah pada akhirnya meraup hak rakyat. Saat ini, dunia pendidikan memerlukan renovasi dan reformasi secara massif, yaitu perubahan nyata gagasan dan tindakan ke arah pendidikan yang berbasis kemanusiaan atau pendidikan yang humanis.
Permasalahan pendidikan yang terjadi di Indonesia terlalu kompleks seperti benang kusut yang susah untuk diurai benang merahnya. Berbagai pengamat pendidikan memberikan bermacam-macam pandangan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan peliknya permasalahan pendidikan seputar devaluasi humaniora pendidikan di Negara kita, mulai dari kekerasan dalam dunia pendidikan, pergeseran peran guru dan orang tua, hingga kapitalisme pendidikan. Problem pendidikan yang kerap terjadi membutuhkan peran aktif berbagai pihak untuk menyelamatkan pendidikan, bukan hanya menunggu kontribusi pihak tertentu saja. Sederetan permasalahan yang muncul dalam dunia pendidikan tentu tidak mungkin akan terselesaikan secara berbarengan sekaligus, harus ada prioritas utama dalam menentukan langkah pertama sebagai starting point dalam menyelesaikan permasalahan pendidikan yang lain. Disinilah peran guru, fasilitator, dan orang tua harus dikembalikan pada posisinya semula, mempertimbangkan dalam dunia pendidikan peran mereka begitu besar dan begitu nyata.
Guru dan orang tua merupakan aktor utama dalam mengarahkan dan membimbing anak-anak dalam meneropong cita-cita sesuai bakat dan minat masing-masing individu. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi dalam konteks tersebut adalah posisi antara guru, orang tua, dan murid adalah sama, masing-masing hendaknya berperan sebagai subjek pendidikan. Kesetaraan posisi ini untuk meminimalisasi adanya persepsi bahwa anak-anak adalah objek pendidikan, sehingga baik guru maupun orang tua, mampu  mengarahkan anak panah bakat dan minat anak-anak tepat pada titik tengah sasaran cita-cita mereka, bukan hanya memaksakan buah pikiran guru atau orang tua. Kesetaraan posisi akan mengembangkan sikap pro aktif masing-masing pihak dalam proses pendidikan, baik guru, orang tua, maupun anak-anak yang merupakan pelaku utama dari implementasi pendidikan. Sinergisitas peran guru dan orang tua sangat diperlukan dalam mengembangkan pendidikan guna mencetak generasi yang cerdas, bukan hanya cerdas secara kognitif, namun juga cerdas dalam aspek emosional, sosial, dan kesadaran diri menyoroti realitas masyarakat yang dinamik. Guru memiliki peran dalam lingkup formal yaitu lingkungan sekolah, sedangkan orang tua beraksi dalam lingkup keluarga dan kehidupan sosial. Kemauan dan tekat memperoleh pendidikan harus ditanamkan orang tua kepada anak-anak, bukan sebaliknya  mengeksploitasi anak untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Kasus ini sering terjadi pada golongan masyarakat ekonomi lemah dan masyarakat yang bertempat tinggal di pelosok desa, Faktor penyebabnya adalah kapitalisme pendidikan yang semakin merebak dan rendahnya kesadaran pendidikan. Fasilitator dalam hal ini memainkan peran penting yaitu memperlancar dan menunjang proses pendidikan, terutama bagi kalangan masyarakat ekonomi lemah dan masyarakat pelosok. Fasilitator pendidikan dimainkan oleh pemerintah selaku pihak pengatur dan penyelenggara pendidikan. Subsidi bantuan pendidikan akan meringankan masyarakat untuk menempuh pendidikan dan mampu mendorong peningkatan pendidikan. Peran antara guru, fasilitator, dan orang tua harus saling komplementer dan mendukung secara pro aktif, tidak bisa renovasi dan reformasi dalam pendidikan hanya mengedepankan salah satu peran saja.
Hakikat peran guru dalam proses pendidikan bukan hanya sebatas transfer ilmu dari guru kepada murid, tapi memiliki peran yang lebih vital dalam mencetak manusia berintelektual dan berkepribadian. Peran guru dalam dunia pendidikan meliputi 3P, peran sebagai pendidik, pengajar, dan pengarah.
·        Peran guru sebagai pendidik yaitu peran guru dalam menanamkan nilai-nilai humaniora, sosial, dan budaya bangsa. Sosok yang berkepribadian dan berjiwa sosial, serta memiliki kesadaran terhadap kondisi di sekitarnya merupakan bentuk transformasi nilai-nilai luhur yang disuntikkan dalam proses pendidikan. Produk pendidikan dalam ruang tanggung jawab guru sebagai pendidik adalah generasi penerus yang sadar peran dan posisinya di dalam lingkungan sosial.
·        Peran guru sebagai pengajar yaitu mentransfer prinsip-prinsip dan konsep-konsep ilmu berdasarkan berbagai disiplin. Output dari proses pendidikan dalam konteks pengajaran adalah manusia yang memiliki intelektualitas yang tinggi dan skill dalam mengimplementasikan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.  
·        Peran guru sebagai pengarah yaitu fasilitator dalam mengarahkan bakat dan minat anak didiknya untuk mencapai cita-cita. Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Beberapa manusia lebih menonjol pada kemampuan otak kiri dan beberapa juga hanya menonjol pada kemampuan otak kanan. Guru harus lebih jeli dalam mempergunakan kacamata mereka terkait pengarahan anak didik sesuai bakat yang dimiliki.
Berbeda dengan peran guru yang identik dengan transfer berbagai disiplin ilmu kepada anak didik, peran orang tua memiliki peran yang jauh lebih dekat dan besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak di dalam sebuah lingkungan keluarga dan sosialnya. Orang tua merupakan guru kehidupan yang pertama kali dikenal oleh seorang anak mulai dari kelahirannya ke dunia. Namun, bukan hanya sekedar investor nilai-nilai kerpibadian, sosial, dan humaniora saja, orang tua memiliki peran yang besar dalam pembentukan emosional. Peran orang tua dalam proses pendidikan meliputi 3P, pendidik, pengarah, dan pendukung.
·        Pendidik, orang tua berperan dalam penanaman nilai-nilai moral, sosial, dan humaniora seorang anak sebagai calon generasi penerus. Orang tua merupakan sosok pertama yang berkontribusi dalam pembentukan kepribadian dan karakter manusia.
·        Pengarah, orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam mengarahkan bakat dan minat anak-anak untuk meraih dan menentukan tujuan hidup dan cita-cita mereka. Orang tua tidak bisa memaksakan dan mendoktrin tujuan dan keinginannya pada anak-anak, minat dan antusiasme anak pada suatu bidang ketrampilan atau disiplin ilmu seharusnya lebih diarahkan agar dapat berkembang.
·        Pendukung, orang tua memiliki andil besar dalam kondisi emosional anak. Peran orang tua menjadi seorang supporter bagi perkembangan anak akan sangat membantu dalam kondisi emosional mereka. Ketika anak-anak mengalami kegagalan dan kesalahan, orang tua harus menerima dan menjadi evaluator bagi anak, karena kegagalan dan kesalahan merupakan salah satu dari proses belajar. Kondisi seperti ini akan membentuk pribadi anak yang lebih kuat emosionalnya dan lebih percaya diri memandang masa depan.
Peran guru dan orang tua tidak terlepas dari peran fasilitator atau pemerintah dalam menyelenggarakan berbagai fasilitas pendidikan, mulai dari sarana dan prasarana belajar sampai penetapan kurikulum dan sistem pendidikan. Pemerintah sebagai fasilitator dalam menunjang kegiatan pendidikan dengan fasilitas gedung sekolah, buku-buku pembelajaran, sarana pendukung laboratorium sekolah, hingga Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi masyarakat ekonomi lemah. Pemerintah juga berperan dalam penyusunan kurikulum dan penetapan sistem pendidikan secara sentral yang kemudian diaplikasikan ke sekolah-sekolah di seluruh daerah.
Sinergisitas  peran masing-masing pihak, baik guru, fasilitator, dan orang tua memang sangat penting dalam memperbaiki mutu pendidikan. Namun, besarnya peran-peran tersebut pada realisasinya di masyarakat tidak dapat berjalan sesuai analisis dan harapan. Kenyataan yang berkembang menunjukkan minimnya sinergisistas dan keselarasan peran antara guru, fasilitator, dan orang tua dalam dunia pendidikan. Permasalahan mengenai kesejahteraan guru, alokasi bantuan pendidikan, mutu dan kualitas pengajar, kekerasan dalam pendidikan, merosotnya moralitas produk pendidikan, kondisi sarana dan prasarana yang masih memprihatinkan, khususnya di daerah-daerah pelosok, serta kapitalisme dan komersialisme pendidikan formal, mendeskripsikan kurangnya sinergisitas peran antara guru, fasilitator, dan orang tua. Dewasa ini beberapa permasalahan tersebut mampu diselesaikan, hingga akhir tahun 2009 peran fasilitator mulai bersinergi dengan peran guru dan orang tua dalam meningkatkan pendidikan. Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) dari pemerintah telah membantu meringankan beban para orang tua untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak, sehingga dorongan untuk memperoleh pendidikan semakin besar bagi golongan ekonomi lemah. Jaminan kesejahteraan guru juga telah mendapat perhatian khusus dari pemerintah yaitu dengan peningkatan gaji guru yang telah mendapat sertifikasi, sehingga diharapkan dengan jaminan kesejahteraan yang diberikan dapat mendorong profesionalisme guru dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.
Tidak banyak juga permasalahan pendidikan terkait sinergisitas peran guru, fasilitator, dan orang tua yang telah menemukan jalan keluar. Ketika di beberapa daerah guru masih bersemangat mendidik dan menghantarkan harapan anak-anak, namun bangunan sekolah dalam kondisi memprihatinkan yang  sewaktu-waktu bisa roboh, peran pemerintah sebagai fasilitator menguap. Pemerintah lebih antusias untuk memperluas dan membangun gedung DPR dibandingkan mengalokasikan dana tersebut untuk memperbaiki kondisi bangunan sekolah di beberapa daerah. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Fakta yang berkembang mencerminkan tidak adanya sinergisitas peran fasilitator dalam merealisasikan peran guru sendiri. Kapitalisme dan komersialisme pendidikan pun semakin berkembang, terutama dalam memperoleh mutu pendidikan yang berkualitas. Pendidikan sudah berevolusi seperti barang dagangan, terutama pendidikan di tingkat SMA dan perguruan tinggi, bagaimana nasib anak-anak dari kelompok ekonomi lemah?. Disini tampak potret sinergisitas peran pemerintah dalam mendorong peran orang tua untuk memperjuangkan pendidikan anak-anaknya semakin meluntur. Kekerasan yang dilakukan guru kepada murid telah menjadi lukisan yang biasa dalam proses pendidikan. Guru menganggap murid adalah mesin dan mentransfer ilmu dengan caranya sendiri. Padahal pada hakikatnya peran guru lebih besar daripada sekedar menjejali murid dengan ilmu. Guru juga memikul tanggung jawab untuk mencerdaskan nilai-nilai moralitas dan emosional murid, bukan hanya ilmu dan pengetahuan. Jika guru saja dapat dengan mudah melakukan kekerasan pada murid, bagaimana cetak produk murid suatu saat nanti melihat realitas teladan mereka seperti itu wajahnya?. Kondisi formal sekolah membutuhkan suasana nyaman dan aman bagi murid untuk menjalani proses pendidikan, bukan penekanan mental mereka. Parahnya kondisi seperti ini, seperti dibekukan oleh pemerintah dengan berbagai macam perubahan sistem pendidikan dan kurikulum.
Kondisi pendidikan di Negara kita masih memprihatinkan dan membutuhkan kontribusi berbagai pihak terkait dalam memecahan masalah tersebut. Pendidikan merupakan jalan keluar untuk memperbaiki dan membangun kondisi bangsa, tapi tentu saja dengan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Kegagalan pendidikan bukan berarti menyerah dengan kondisi yang ada dan membiarkan kondisi yang semrawut semakin berlarut-larut. Renovasi pendidikan harus dimulai dari sekarang, peran masing-masing pihak direvitalisasi dan dikembalikan sesuai posisinya. Beberapa alternatif pemecahan masalah dapat diupayakan dalam memperbaiki pendidikan di Negara kita dengan menggunakan pendekatan peran guru, fasilitator, dan orang tua, meskipun tidak seluruhnya dapat direalisasikan secara total. Secara garis besar dapat diberikan dua solusi untuk mengatasi permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, antara lain:
1.         Solusi dengan memperbaiki sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Peran pemerintah sebagai fasilitator berfungsi dalam konteks solusi sistemik tersebut, mungkin salah satunya adalah dengan alokasi dana APBN sebesar 20% untuk program pendidikan yang telah dianggarkan oleh pemerintah. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah benarkah alokasi 20% tersebut benar-benar tersampaikan bagi pendidikan masyarakat?, karena meneropong dengan lebih jeli lagi bahwa kondisi sarana dan prasarana pendidikan di beberapa daerah masih sangat memprihatinkan, terutama bangunan sekolah. Kapitalisme dan komersialisme pendidikan di beberapa lembaga pendidikan yang berkualitas pun semakin sering terjadi.  Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada.
Pemerintah sebagai sentral penetapan berbagai kebijakan pendidikan seharusnya lebih teliti dalam mengalokasikan dana pendidikan, sehingga bantuan tersebut tidak terkonsentrasi pada beberapa lokasi sekolah saja. Data-data seluruh sekolah diperlukan untuk melakukan survey dan observasi kondisi sarana dan prasarana yang perlu diperbaiki. Selain mengalokasikan dana pendidikan, pemerintah bertindak juga dalam monitoring, controlling, dan evaluation dari realisasi alokasi dana pendidikan yang dibagikan ke lembaga-lembaga pendidikan untuk meminimalisasi penyimpangan aliran dana.
2.      Solusi teknis dan praktis, yaitu solusi yang menyangkut hal-hal teknis terkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru, menurunnya nilai-nilai humaniora dan moralitas anak didik, sering berganti-gantinya sistem pendidikan di Indonesia, dan kekerasan dalam pendidikan. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru dapat diselesaikan dengan pemberian beasiswa pendidikan S2 atau S3 untuk menunjang kapasitas pendidikan dan pengajaran yang lebih tinggi, atau dengan pemberian pelatihan baik yang berkaitan dengan peningkatan skill dalam memberikan pendidikan dan pengajaran maupun yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang akan disampaikan kepada anak didik.
Perubahan paradigma mengenai peran guru yang berkembang yaitu mentransformasikan ilmu dan pengetahuan kepada anak didik, karena peran guru lebih dari sekedar fasilitator dalam mencerdaskan kognitif anak didik, namun juga mencerdaskan nilai-nilai moral, humaniora, dan sosial anak didik. Peran orang tua juga besar dalam menyembuhkan penyakit krisis nilai-nilai moralitas, humaniora, dan sosial anak-anak, sehingga dibutuhkan sinergisitas peran guru dan orang tua dalam menyelesaikan masalah ini. Di lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan yang lain bisa diterapkan melalui pendidikan agama dan pancasila, namun bukan hanya sebatas materi yang dicekokkan kepada anak didik, dibutuhkan pula praktek-praktek secara langsung dalam realitas sosial masyarakat.
Setiap pergantian menteri pendidikan, berganti pula sistem pendidikan yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan formal. Selain itu, sistem pendidikan dan penetapan kurikulum masih bersifat sentralistik, yang belum tentu bisa diaplikasikan di seluruh sekolah. Adanya standard baku dalam proses pendidikan memang bagus dan memang diperlukan, namun kebijakan yang ditetapkan hendaknya mengacu pada kondisi pendidikan yang ada. Dalam hal ini, dibutuhkan pula peran guru dalam membimbing dan mengarahkan anak didik agar dapat mengikuti dan beradaptasi dengan sistem pendidikan dan kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kekerasan anak didik oleh guru dalam dunia pendidikan pun masih sering ditemukan. Sebenarnya guru tidak perlu melakukan kekerasan untuk membentuk anak didik yang patuh pada peraturan sekolah dan proses pendidikan. Guru perlu menyampaikan secara dua arah dengan anak didik dan membuat anak didik paham dan sadar pada kesalahannya.
Pada realisasinya memang susah menerapkan dan mengaplikasikan ide dan gagasan dalam dunia nyata, namun bukan berarti perbaikan kondisi pendidikan di Indonesia itu tidak mungkin. Sekali lagi dibutuhkan sinergisitas peran berbagai pihak yang terkait, antara lain guru, fasilitator, dan orang tua, dalam memperbaiki dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan merupakan pintu gerbang untuk membangkitkan dan memperbaiki kondisi Negara, seperti kata-kata Pater Jendral Jesuit Nicolas Adolfo, S.J.Pendidikan yang baik bagi kaum muda merupakan usaha baik untuk merubah dunia”. Jadi, jangan pernah menyerah untuk memperbaiki dunia pendidikan kita. Pada akhir tulisan ini, saya mengutip  suatu kalimat yang disampaikan oleh Pater Jendral Jesuit Nicolas Adolfo, S.J.  yaitu In education, we make people different…Our Schools are not competitors for top schools, but to make people who look differently at reality and at themselves.” 


Jumat, 27 Mei 2011

Persembahan Untuk Ayah

Kamar kos Puri Asri, 2011
Hujan menerkam tanah,  dingin mulai memburu panas yang  menyerbu ruangan tanpa AC, gerah yang tak mampu dikalahkan sepoi angin dari putaran kipas angin perlahan menguap. Sejenak tangan berhenti menekan tombol keyboard, bola mata mengalihkan pandangan dari layar komputer butut ke arah pemandangan di luar jendela. Hujan yang sama, selalu sama seperti 8 tahun lalu. Radio dengan antena yang bergelayut pasrah hampir tumbang mengajak ingatanku bernostalgia, tentang rumah, tentang ayah, dan tentang perngorbanannya. Pelan-pelan sebuah lagu mengalun lembut, kerinduan membuncah semakin deras membawaku jatuh ke masa 8 tahun silam.
“ ...kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu, patuhi perintahmu, jauhkan godaan yang mungkin kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak, Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya,  kuterus berjanji takkan khianati pintanya,  ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu kan kubuktikan kumampu penuhi maumu…”
(Ada Band, Yang Terbaik Bagimu)
***
                Ruang Tamu, 2003
                Dingin, gerimis merambat pelan melalui kaca jendela, dalam hitungan menit telah bermetamorfosa menjadi hujan lebat. Aroma tanah yang diguyur air hujan menyengat masuk melalui kisi-kisi jendela, bau yang  membawa damai dan menelusupkan rasa kantuk. Bunyi hujan dan aromanya selalu menyenangkan bagiku, tapi entah kenapa tidak untuk hari ini. Ruang tamu hening, hanya terdengar dengusan napas berat dari beberapa manusia. Kulihat ayah mengumpulkan segenap kekuatan untuk memulai suatu pembicaraan, tak pernah kulihat ayah seputus asa itu. Kulirik ibu yang duduk tenang di samping tubuhku yang meringkuk kedinginan di terjang hawa musim hujan, wajahnya teduh dan sorotan matanya hendak meyakinkan ayah tentang sesuatu, entahlah tentang apa. Kedua kakakku duduk dengan cemas menunggu ayah memulai percakapan. Ruang tamu jadi sesak, sesak dengan emosi yang teramal dalam otakku, mesin hidup paling canggih yang pernah kumiliki.
                “Sebenarnya ayah berat mengatakan ini pada kalian semua. Hidup memang tidak bisa selamanya mudah dan selalu seperti yang kita harapkan, ayah harap kalian bisa bersabar atas cobaan ini”, kupandang ayah yang seperti hendak kehilangan nyawa dalam ucapannya. “Usaha ayah bangkrut, dan beberapa perabotan rumah akan digadaikan untuk membayar hutang. Kakak1 harus cuti kuliah dulu, adik2 juga tidak bisa melanjutkan kuliah di tahun ini, ayah hanya mampu membiayai sekolah si kecil3 dulu untuk saat ini”.
                Kakak pertamaku diam, mencerna baik-baik perkataan ayah dan berusaha menerima apa yang sedang menimpa keluarga kami. Kakak keduaku langsung beranjak dari ruang tamu, masuk kamar dan menutup pintunya tanpa meninggalkan celah sedikit pun. Ada ketidakadilan hidup yang dirasakan olehnya, mimpi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi favoritnya harus ditenggelamkan dalam-dalam. Aku bisu, tapi cukup paham tentang apa yang sedang menimpa keluarga kami. Kesimpulan yang diproses sel neuron otakku adalah mulai sekarang kami telah menjadi miskin.
                “Tenang saja ayah, Safya akan terus sekolah sampai jadi sarjana dengan bekerja sendiri. Tidak akan menyusahkan ayah lagi. Dan kakak tidak perlu putus sekolah”, ucapku dengan penuh semangat, kemudian tersenyum memandang wajah ayah, ibu, dan kakak pertamaku. Sorot mata ayah penuh dengan penyesalan, ibu memandang dengan iba, dan kakak mengelus pelan rambut kepalaku. Bagi mereka ucapanku seperti angin lalu, hanya sebatas kata-kata dari bocah SMP yang belum tahu kerasnya hidup. Kemudian, ruang tamu kembali hanyut dalam keheningan.
                Sebulan setelah adegan di ruang tamu, ayah memutuskan untuk menjadi nelayan mingguan dan berlayar bersama bapak-bapak tetangga rumah. Bukanlah pekerjaan yang mudah, ayah tidak suka gelombang laut yang mengocok perutnya, memaksanya untuk mengeluarkan semua isi perut. “Anak-anak harus tetap bersekolah, mereka harus jadi orang pintar dan berguna, jangan sampai seperti kita ini, bu. Orang bodoh dan tidak berpendidikan”, kudengar ucapan ayah sebelum berangkat meninggalkan kami.
***
                Ruang tamu, 2004
                Mendung menggelayut manja di atap langit, perutnya telah penuh sesak dengan molekul-molekul air. Petang yang ganjil, tanpa salam perpisahan matahari sebelum malam membawa gelap. Aku tidak suka musim hujan tahun ini, ada sedih yang dibangunnya dalam tiap  jengkal ubin di lantai rumah. Ayah telah terbaring di ranjang selama 2 bulan, salah satu ruas tulang belakangnya mengalami cedera yang mengakibatkan kelumpuhan sementara. Dua bulan yang lalu ayah mengalami kecelakaan di kapal ketika melaut, ombak membanting tubuh ayah ke lantai kapal.
Ekonomi keluarga benar-benar terpuruk, bahkan untuk memperoleh beras ibu harus mengutang dan memohon belas kasihan dari saudara-saudaranya. Ibu berusaha memperoleh uang untuk biaya berobat ayah dengan bekerja menjadi buruh pabrik ikan dan menjual tanah warisan. Pada akhirnya, kakak-kakakku tidak mampu lagi melanjutkan sekolah, sedangkan aku tetap mempertahankan pendidikan di SMP dengan beasiswa prestasi. Hidup menjadi sangat sulit bagi kami, tapi ibu tidak pernah mengeluh,  dan bapak tidak pernah putus asa untuk kembali sembuh, berharap mampu berjuang kembali untuk menyelamatkan pendidikan anak-anaknya.
***
                Stasiun Gubeng, 2008
                Gerbong kereta ekonomi jurusan Surabaya-Yogyakarta telah berjubel manusia. Bau keringat menyengat ke saraf penciumanku, pengap dan gerah yang teramat sangat menonjok kulit. Temaram cahaya matahari sore semakin hilang ditelan gerombolan mendung. Gerimis mulai meraih debu di peron stasiun dan menyentuh rel kereta yang seharian terpanggang terik matahari. Dari balik jendela yang dipenuhi abstraksi debu kupandang ayah dan ibu yang mengamati dari luar gerbong kereta, memastikan aku masih baik-baik saja di kursi kereta. Kereta melaju perlahan ke arah barat, ayah dan ibu melambai dengan penuh harapan, air mataku tak terbendung lagi. Mereka mempertaruhkan seluruh tanah warisan di kampung demi pendidikanku di Yogyakarta, di salah satu universitas ternama. Aku adalah harapan terakhir mereka setelah kedua kakakku gagal meraih gelar sarjana. Dan hari ini hujan kembali mengguyur bumi manusia, lebih deras dari bunyi hujan yang pernah kudengar. Musim hujan pertama di tahun 2008 yang menemani keberangkatanku membawa mimpi ayah.
***
                Yogyakarta, 2009
                Tumpukan baju menekan tenaga dan pikiranku bertubi-tubi. Ada kelelahan yang hendak meledak. Aku tidak bisa protes terhadap hidup, aku menangis sebagai bentuk peralihan ketidakadilan yang terjadi pada hidupku. Hidup di kota besar membutuhkan biaya yang besar. Jatah bulanan dari kampung tidak mencukupi untuk melanjutkan hidup di kota. Terpaksa aku harus menjalani kerja sambilan dan serabutan agar tetap bisa melanjutkan hidup dan kuliah. Pengajar private, trainer outbond, sampai jadi buruh setrika di kos dengan upah Rp 30.000,00 per bulan, kujalani demi mewujudkan mimpi ayah, mimpi ibu, dan cita-citaku. Aku tidak boleh menyerah dengan nasib, “dibalik kesulitan ada kemudahan”, kata Allah SWT. dalam firmanNya. Kemudian, kuusap air mata yang terlanjur memenuhi epidermis kulit pipiku dan segera menyelesaikan tumpukan baju yang harus disetrika.
***
                Kamar kos Puri Asri, 2011
                Dingin mulai memagut tubuhku di penghujung petang. Hujan berhenti dan mendung hendak memudar, melarikan diri dari atap Yogya. Langit berevolusi dan menyusupkan lembayung sore paling damai yang pernah kurasakan. Perlahan-lahan hidup memberi kemudahan dalam tiap langkahku, Allah SWT. membimbing dan menguatkan otot kakiku tiap kali aku terjatuh dan kesulitan untuk bangun kembali. Beasiswa dari universitas dan gaji dari tugas asisten laboratorium telah banyak membantu beban biaya ayah untuk menyekolahkan aku. Sayup-sayup lagu yang dipersembahkan nyaring oleh speaker radio butut memenuhi rongga kepalaku. Kelenjar air mataku mencair, meleleh dan menetes perlahan. Lagu ini selalu berhasil membangun kekuatanku untuk melanjutkan mimpi ayah dan memberiku kenangan tanpa batas tentang pengorbanan ayah.
“…andaikan detik itu kan bergulir kembali, kurindukan suasana basuh jiwaku membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu, tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya,  kuterus berjanji takkan khianati pintanya,  ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu kan kubuktikan kumampu penuhi maumu…”

*Yogyakarta, ketika kekuatan mulai meredup dan kerinduan pada ayah menyergap.










Catatan kaki : 1 Panggilan ayah untuk kakak perempuan pertamaku
                        2 Panggilan ayah untuk kakak perempuan keduaku
                        3 Panggilan ayah untukku

Minggu, 22 Mei 2011
Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Entah ini akan menjadi ungkapan terakhirku atau bukan
Atas rasa terima kasihku untuk rasa sayangmu
Dan rasa sayangku yang tak pernah bisa jujur kuungkap
Karena rasa egoku
Namun takkan pernah terhapus oleh apapun

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Jika ada salah dariku
Yang belum ku sempat meminta maaf
Maafkan aku

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Jika selama mengenalku
Maaf ku tak bisa jadi seperti yang kau mau
Dan
Maaf terkadang menyusahkanmu
Menyakiti hatimu dan lainnya
Maaf

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Jika masih ada janjiku yang belum sempat kupenuhi
Maaf
Mungkin tak saat ini
Tapi lain waktu
Jika Allah mengizinkanku

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Jika pernah ada kata yang menyakitkan hatimu
Atas ucapanku yang tlah lalu
Maaf
Atas kekhilafanku

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Makasih buat perhatianmu untukku
Makasih buat rasa sayangmu untukku
Makasih buat cinta yang kamu beri untukku
Makasih buat kenangan yang  kamu beri untukku
Makasih buat dirimu yang pernah jadi pacarku, kakak, sahabat, dan teman yang baik untukku

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Makasih buat semua yang telah terlewat
dan  luka yang telah tertoreh
aku akan coba untuk menerima semuanya
dengan ikhlas tanpa dendam
atau pun benci di hati
sekalipun rasa sakit itu mungkin masih ada

dan
Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Makasih buat kesabaranmu menghadapiku
Walau kini tak ada lagi dirimu
Makasih

Untukmu yang tak kukenal lagi siapa
Jika ini semua sudah jadi inginmu
Aku akan coba menerima
Dan jika itu yang menjadi pilihanmu
Akan kucoba mengikhlaskan
Semoga dirimu senang dengan ini semua
Namun aku akan tetap disini
Sampai dirimu sadar akan adanya diriku
Dan kembali untukku lagi

by Navieana






 
Copyright 2009 Padang Mimpi