Minggu, 01 Februari 2015

Atraksi di Aspal Jalan Majene-Mamuju



Alarm menjerit dengan serampangan, semakin lama semakin keras dan mengganggu indra pendengaranku. Pukul 04.00 WITA, aku terbangun dengan tergesa-gesa, menuju ke kamar mandi dan membasahi wajah, berharap dapat mengusir kantuk dan mereduksi sedikit kelelahan akibat begadang untuk rapat audiensi program. Dua puluh menit berlalu, tas ransel besar bertuliskan Indonesia Mengajar yang merupakan peninggalan kakak PM VII tercinta yaitu Mas Ifan, telah melekat di punggunggku. Ocy memanggil dari balik punggung, dia hendak menumpang motor bapak angkatku, tapi aku paham betul bahwa niat sesungguhnya Ocy adalah menemaniku yang nekat pulang pagi buta, kuperbolehkan dia menjadi teman perjalanan pulang ke dusun.
Subuh yang dingin, beberapa terlihat penduduk Majene yang sedang berangkat menuju Masjid untuk melaksanakan Shalat Subuh. Jalanan dari Kabupaten Majene ke arah Mamuju masih lengang dan bahkan masih gelap di beberapa titik. Jalur masih bersahabat, cuma sesekali melewati jalan berkelok yang lumayan tajam tanpa penerangan jalan, hanya mengandalkan lampu motor.
Kecamatan Sendana, kami sampai di tujuan pertama, tempat pengabdian Ocy. Tiba saatnya memulai perjalanan pertama mengendarai motor seorang diri menuju Kecamatan Malunda, menyeramkan, antara gamang dan nekat. Akhirnya kuberanikan diri untuk melalui perjalanan sepanjang 80 Km dengan jalanan berkelok, turun-naik, dan sesekali lubang menganga di tengah jalan. Wajah ceria anak-anakku ketika berangkat sekolah, tubuh kecil berbalut seragam sekolah di pagi hari yang masih berkabut dan terkadang gerimis kecil, suara mereka yang menyapa “Bu Guru” sambil bercerita tentang macam-macam kisah dengan Bahasa Mandar yang dipoles sedikit dengan Bahasa Indonesia, suasana seperti ini lebih menarik bagiku untuk datang ke sekolah daripada harus ketakutan dengan perjalanan seorang diri. Demi mereka, pagi ini aku menerjang dingin, gelap, dan kegamanganku pada jalanan berkelok.
Jam tangan casio hitam menunjukkan pukul 06.00 WITA, kecepatan motor kunaikkan untuk dapat mengikuti pelaksanaan upacara di sekolah. Beberapa saat setelah melewati jembatan, aku tersentak kaget dengan lubang besar di tengah jalan, keseimbanganku terganggu, akhirnya motorku oleng. Kepala terbentur aspal, mataku gelap karena darah yang mengucur, perlahan kekuatanku melemah, tersisa sedikit tenaga untuk menjerit minta tolong sebelum akhirnya kesadaranku menghilang.
Rasa ngilu dan perih memaksa kesadaranku kembali. Kedua mataku terbuka, tapi penglihatan masih kabur. Seorang Ibu dan beberapa orang asing berada di sekitar ranjangku, aku berada di pusat kesehatan. “Nak, ini sudah di puskesmas. Kamu di sini tinggal dimana?  Sama siapa nak?”, Ibu tersebut bertanya di dekat telingaku. Tiba-tiba rasanya seluruh ingatanku sedang mengambang hendak lari, antara nyata dan tidak nyata, antara percaya dan tidak percaya bahwa seluruh yang berlarian di memori otakku adalah ingatanku tentang kehidupan sebelumnya. Pelan-pelan kupungut ingatan-ingatan yang hampir hilang tersebut, “Sa...saya ikut orang tua angkat. Ehm..namanya Bapak Upi”, dengan pandangan yang masih kabur, kulihat ibu tersebut menelpon seseorang. Aku meringis kesakitan, seorang perawat membersihkan luka di lutut yang sangat lebar, serta luka di pergelangan tangan sebelah kiri dan siku sebelah kanan.
Tubuhku dipindahkan ke ruang perawatan menggunakan kursi roda. Celana tidur koyak hingga selangkangan, sarung bermotif kotak besar menutupinya agar tidak jadi bahan tontonan para pengunjung, pasien maupun petugas kesehatan. Beberapa menit kemudian, Ocy datang tergopoh-gopoh, meninggalkan sekolah dan anak-anaknya untuk menjenguk dan menjagaku. Tidak berapa lama, bapak angkatku tiba dengan raut muka khawatir, disusul Pak Kepala Sekolah, Pak Odank, Saudara Pak Bau (Sekretaris Daerah) dengan membawakan bubur dan macam-macam makanan yang tidak mampu masuk mulut karena bibir yang sobek. Beberapa warga sekitar Puskesmas Sendana II turut berkunjung, bahkan aku pun tak mengenal mereka karena lokasi penempatanku yang masih sangat jauh. Sekitar jam 11.00 WITA Bapak Kepala UPTD Malunda datang dan seketika itu menyelesaikan berbagai urusan administrasi, menjemputku untuk dirawat di rumahnya hingga kondisi stabil dan mampu untuk menembus jalanan ekstrem menuju dusun.
Pertama kali dalam hidupku, benar-benar merasa menjadi manusia paling berharga, seluruh orang memperhatikan kondisiku, seperti porselen, dijaga sekali agar tidak lecet barang sedikit pun. Selama 3 hari dan 2 malam, berbagai teman dan kerabat dari orang tua angkat silih berganti berdatangan. Saudara-saudara seperjuangan juga datang untuk melimpahkan banyak penghiburan, meskipun aku kesakitan untuk tertawa, sangat melegakan bahwa kami berdelapan memang telah menjadi saudara dalam kondisi sesulit apapun. Seseorang yang sedang mengabdi di Provinsi Sebelah juga tak henti untuk memastikan keadaan dan selalu mengkhawatirkanku. Luar biasa, kasih sayang yang datang dari banyak penjuru. Terima kasih telah memberiku keluarga dan teman-teman yang begitu tulus, Allah. Terima kasih juga masih mengizinkanku untuk membuka mata setelah pingsan sepanjang 6 Km dari lokasi kecelakaan sampai ke puskesmas. Terima kasih masih mengizinkanku untuk melihat dan mengajar anak-anak lagi. Terima kasih telah menghadirkan seseorang yang meskipun jauh tak luput untuk memberi semangat.
 
*Cerita ditulis pasca seminggu kecelakaan*

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Padang Mimpi