Kamis, 09 Oktober 2014

Pindah

"Waktu adalah hal yang bisa menyapu dan mengantar segalanya. Baik kenangan, maupun perasaan. Baik hal-hal buruk, maupun hal-hal baik. Baik awal maupun kesudahan. Hanya saja, tak banyak manusia yang mau merelakan sedikit detik lebih lama untuk berproses, untuk berani melangkahi sesuatu yang teramat dicintai. Untuk berpindah dari satu pijakan ke pijakan lain yang terasa begitu asing—tapi sesungguhnya adalah rumah yang seharusnya. Karena dalam hidup ini, manusia selalu butuh berpindah. Pindah dari hal-hal yang salah, pindah dari perasaan-perasaan yang keliru. Namun, untuk melakukannya diperlukan keteguhan, dan manusia terlalu tidak sabar menjalaninya; terlalu tidak berani memilihnya" 
(Pindah; Ada Indah Di Setiap Pindah)

Pagi dan sekaleng susu putih, menikmati derit rel yang bergesekan dengan roda kereta, menikmati  peluh setelah membawa carrier 80 liter dan koper super besar, menikmati sebuah ke-pindah-an. Stasiun masih lengang, kedua sahabatku telah selesai melepasku pergi, melanjutkan perjalanan, mungkin pengembaraan, mengejar sesuatu yang menurut orang berakal sehat "tidak masuk akal" atau bahkan "gila". Menurut mereka, tapi bagiku dan orang-orang terdekatku yang mengenalku lebih dalam daripada hanya permukaan, mereka paham bahwa aku sedang mengejar mimpi yang bukan hanya akan memberi pengalaman luar biasa untuk kulahap seorang diri, tapi juga akan dicerna oleh anak-anak di desa antah berantah yang tidak terjamah hiruk pikuk kota, Insya Allah.

Pindah, istilah yang tiba-tiba sangat aku cintai setelah melumat habis Buku Pindah; Ada Indah Di Setiap Pindah. Bagaimana seseorang memang harus merelakan hal yang mereka cintai, tapi sesungguhnya bukan hal yang mereka impikan. Sesuatu yang bermula dari keterpaksaan berada di suatu kondisi, kemudian mereka mulai mencintai karena mereka menemukan kenyamanan, keluarga, dan bahkan kemapanan dari sebuah keterpaksaan tersebut. Tapi mereka lupa, mereka punya mimpi, dan butuh sebuah keberanian untuk berpindah dari perasaan-perasaan itu untuk menangkap mimpi yang selama ini mengendap. Aku, berhenti di satu titik balik, orang yang memilih untuk pindah dari hal-hal yang terlanjur dicintai dan disayanginya, pekerjaan, sahabat, dan kemapanan, untuk kembali mengejar mimpi, menjadi Pengajar Muda. Tidak mudah, memang! terlalu banyak kenangan yang harus dibawa pergi, terlalu banyak orang-orang yang perduli untuk ditinggalkan begitu saja, tapi aku harus pindah, mengejar dan menangkap mimpi yang selama ini kuabaikan demi sebuah materi. 

“Merantaulah, kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. (Imam Syafii)” 

 

Aku merantau, dari semenjak remaja hingga telah menjadi wanita yang mungkin kedewasaannya pun masih perlu kupertanyakan, sesungguhnya. Bermula dari desa pesisir pantai utara menuju kota kabupaten untuk bisa mendapatkan pendidikan SMA yang layak. Bermula dari kota kabupaten menuju kota besar untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Bermula dari satu kota besar menuju kota besar yang lain untuk mengumpulkan pundi-pundi uang agar hutang bapak lunas. Setiap perjalanan memberiku kerabat dan teman, setiap pemberhentian menyajikan banyak kenangan dan rasa cinta. 

Akhirnya, inilah pilihanku, berpindah dari zona nyamanku sekarang menuju zona baru yang lebih liar. Tangis dan sedih bukankah hal lumrah ketika kamu pindah? karena kamu akan meninggalkan kerabat dan teman, kamu akan membawa pergi seluruh kenangan bersama mereka. Tapi di suatu tempat persinggahanmu yang lain, kamu akan menemukan kerabat dan teman baru. Percayalah, jangan pernah takut untuk pindah, jangan pernah risau untuk merantau.


 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Padang Mimpi