Jumat, 27 Mei 2011

Persembahan Untuk Ayah

Kamar kos Puri Asri, 2011
Hujan menerkam tanah,  dingin mulai memburu panas yang  menyerbu ruangan tanpa AC, gerah yang tak mampu dikalahkan sepoi angin dari putaran kipas angin perlahan menguap. Sejenak tangan berhenti menekan tombol keyboard, bola mata mengalihkan pandangan dari layar komputer butut ke arah pemandangan di luar jendela. Hujan yang sama, selalu sama seperti 8 tahun lalu. Radio dengan antena yang bergelayut pasrah hampir tumbang mengajak ingatanku bernostalgia, tentang rumah, tentang ayah, dan tentang perngorbanannya. Pelan-pelan sebuah lagu mengalun lembut, kerinduan membuncah semakin deras membawaku jatuh ke masa 8 tahun silam.
“ ...kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu, patuhi perintahmu, jauhkan godaan yang mungkin kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak, Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya,  kuterus berjanji takkan khianati pintanya,  ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu kan kubuktikan kumampu penuhi maumu…”
(Ada Band, Yang Terbaik Bagimu)
***
                Ruang Tamu, 2003
                Dingin, gerimis merambat pelan melalui kaca jendela, dalam hitungan menit telah bermetamorfosa menjadi hujan lebat. Aroma tanah yang diguyur air hujan menyengat masuk melalui kisi-kisi jendela, bau yang  membawa damai dan menelusupkan rasa kantuk. Bunyi hujan dan aromanya selalu menyenangkan bagiku, tapi entah kenapa tidak untuk hari ini. Ruang tamu hening, hanya terdengar dengusan napas berat dari beberapa manusia. Kulihat ayah mengumpulkan segenap kekuatan untuk memulai suatu pembicaraan, tak pernah kulihat ayah seputus asa itu. Kulirik ibu yang duduk tenang di samping tubuhku yang meringkuk kedinginan di terjang hawa musim hujan, wajahnya teduh dan sorotan matanya hendak meyakinkan ayah tentang sesuatu, entahlah tentang apa. Kedua kakakku duduk dengan cemas menunggu ayah memulai percakapan. Ruang tamu jadi sesak, sesak dengan emosi yang teramal dalam otakku, mesin hidup paling canggih yang pernah kumiliki.
                “Sebenarnya ayah berat mengatakan ini pada kalian semua. Hidup memang tidak bisa selamanya mudah dan selalu seperti yang kita harapkan, ayah harap kalian bisa bersabar atas cobaan ini”, kupandang ayah yang seperti hendak kehilangan nyawa dalam ucapannya. “Usaha ayah bangkrut, dan beberapa perabotan rumah akan digadaikan untuk membayar hutang. Kakak1 harus cuti kuliah dulu, adik2 juga tidak bisa melanjutkan kuliah di tahun ini, ayah hanya mampu membiayai sekolah si kecil3 dulu untuk saat ini”.
                Kakak pertamaku diam, mencerna baik-baik perkataan ayah dan berusaha menerima apa yang sedang menimpa keluarga kami. Kakak keduaku langsung beranjak dari ruang tamu, masuk kamar dan menutup pintunya tanpa meninggalkan celah sedikit pun. Ada ketidakadilan hidup yang dirasakan olehnya, mimpi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi favoritnya harus ditenggelamkan dalam-dalam. Aku bisu, tapi cukup paham tentang apa yang sedang menimpa keluarga kami. Kesimpulan yang diproses sel neuron otakku adalah mulai sekarang kami telah menjadi miskin.
                “Tenang saja ayah, Safya akan terus sekolah sampai jadi sarjana dengan bekerja sendiri. Tidak akan menyusahkan ayah lagi. Dan kakak tidak perlu putus sekolah”, ucapku dengan penuh semangat, kemudian tersenyum memandang wajah ayah, ibu, dan kakak pertamaku. Sorot mata ayah penuh dengan penyesalan, ibu memandang dengan iba, dan kakak mengelus pelan rambut kepalaku. Bagi mereka ucapanku seperti angin lalu, hanya sebatas kata-kata dari bocah SMP yang belum tahu kerasnya hidup. Kemudian, ruang tamu kembali hanyut dalam keheningan.
                Sebulan setelah adegan di ruang tamu, ayah memutuskan untuk menjadi nelayan mingguan dan berlayar bersama bapak-bapak tetangga rumah. Bukanlah pekerjaan yang mudah, ayah tidak suka gelombang laut yang mengocok perutnya, memaksanya untuk mengeluarkan semua isi perut. “Anak-anak harus tetap bersekolah, mereka harus jadi orang pintar dan berguna, jangan sampai seperti kita ini, bu. Orang bodoh dan tidak berpendidikan”, kudengar ucapan ayah sebelum berangkat meninggalkan kami.
***
                Ruang tamu, 2004
                Mendung menggelayut manja di atap langit, perutnya telah penuh sesak dengan molekul-molekul air. Petang yang ganjil, tanpa salam perpisahan matahari sebelum malam membawa gelap. Aku tidak suka musim hujan tahun ini, ada sedih yang dibangunnya dalam tiap  jengkal ubin di lantai rumah. Ayah telah terbaring di ranjang selama 2 bulan, salah satu ruas tulang belakangnya mengalami cedera yang mengakibatkan kelumpuhan sementara. Dua bulan yang lalu ayah mengalami kecelakaan di kapal ketika melaut, ombak membanting tubuh ayah ke lantai kapal.
Ekonomi keluarga benar-benar terpuruk, bahkan untuk memperoleh beras ibu harus mengutang dan memohon belas kasihan dari saudara-saudaranya. Ibu berusaha memperoleh uang untuk biaya berobat ayah dengan bekerja menjadi buruh pabrik ikan dan menjual tanah warisan. Pada akhirnya, kakak-kakakku tidak mampu lagi melanjutkan sekolah, sedangkan aku tetap mempertahankan pendidikan di SMP dengan beasiswa prestasi. Hidup menjadi sangat sulit bagi kami, tapi ibu tidak pernah mengeluh,  dan bapak tidak pernah putus asa untuk kembali sembuh, berharap mampu berjuang kembali untuk menyelamatkan pendidikan anak-anaknya.
***
                Stasiun Gubeng, 2008
                Gerbong kereta ekonomi jurusan Surabaya-Yogyakarta telah berjubel manusia. Bau keringat menyengat ke saraf penciumanku, pengap dan gerah yang teramat sangat menonjok kulit. Temaram cahaya matahari sore semakin hilang ditelan gerombolan mendung. Gerimis mulai meraih debu di peron stasiun dan menyentuh rel kereta yang seharian terpanggang terik matahari. Dari balik jendela yang dipenuhi abstraksi debu kupandang ayah dan ibu yang mengamati dari luar gerbong kereta, memastikan aku masih baik-baik saja di kursi kereta. Kereta melaju perlahan ke arah barat, ayah dan ibu melambai dengan penuh harapan, air mataku tak terbendung lagi. Mereka mempertaruhkan seluruh tanah warisan di kampung demi pendidikanku di Yogyakarta, di salah satu universitas ternama. Aku adalah harapan terakhir mereka setelah kedua kakakku gagal meraih gelar sarjana. Dan hari ini hujan kembali mengguyur bumi manusia, lebih deras dari bunyi hujan yang pernah kudengar. Musim hujan pertama di tahun 2008 yang menemani keberangkatanku membawa mimpi ayah.
***
                Yogyakarta, 2009
                Tumpukan baju menekan tenaga dan pikiranku bertubi-tubi. Ada kelelahan yang hendak meledak. Aku tidak bisa protes terhadap hidup, aku menangis sebagai bentuk peralihan ketidakadilan yang terjadi pada hidupku. Hidup di kota besar membutuhkan biaya yang besar. Jatah bulanan dari kampung tidak mencukupi untuk melanjutkan hidup di kota. Terpaksa aku harus menjalani kerja sambilan dan serabutan agar tetap bisa melanjutkan hidup dan kuliah. Pengajar private, trainer outbond, sampai jadi buruh setrika di kos dengan upah Rp 30.000,00 per bulan, kujalani demi mewujudkan mimpi ayah, mimpi ibu, dan cita-citaku. Aku tidak boleh menyerah dengan nasib, “dibalik kesulitan ada kemudahan”, kata Allah SWT. dalam firmanNya. Kemudian, kuusap air mata yang terlanjur memenuhi epidermis kulit pipiku dan segera menyelesaikan tumpukan baju yang harus disetrika.
***
                Kamar kos Puri Asri, 2011
                Dingin mulai memagut tubuhku di penghujung petang. Hujan berhenti dan mendung hendak memudar, melarikan diri dari atap Yogya. Langit berevolusi dan menyusupkan lembayung sore paling damai yang pernah kurasakan. Perlahan-lahan hidup memberi kemudahan dalam tiap langkahku, Allah SWT. membimbing dan menguatkan otot kakiku tiap kali aku terjatuh dan kesulitan untuk bangun kembali. Beasiswa dari universitas dan gaji dari tugas asisten laboratorium telah banyak membantu beban biaya ayah untuk menyekolahkan aku. Sayup-sayup lagu yang dipersembahkan nyaring oleh speaker radio butut memenuhi rongga kepalaku. Kelenjar air mataku mencair, meleleh dan menetes perlahan. Lagu ini selalu berhasil membangun kekuatanku untuk melanjutkan mimpi ayah dan memberiku kenangan tanpa batas tentang pengorbanan ayah.
“…andaikan detik itu kan bergulir kembali, kurindukan suasana basuh jiwaku membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu, tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya,  kuterus berjanji takkan khianati pintanya,  ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu kan kubuktikan kumampu penuhi maumu…”

*Yogyakarta, ketika kekuatan mulai meredup dan kerinduan pada ayah menyergap.










Catatan kaki : 1 Panggilan ayah untuk kakak perempuan pertamaku
                        2 Panggilan ayah untuk kakak perempuan keduaku
                        3 Panggilan ayah untukku

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Padang Mimpi