“Ibu Guru tidak usah ikut mengantar Rauf
karaoke ya di malam final nanti?”, candaku dengan raut muka serius ketika
melatihnya bernyanyi.
“Saya tidak mau menyanyi kalau
tidak ada Ibu Guru”, protesnya dengan kedua alis mata yang saling beradu.
“Ya sudah, tidak usah ikut final
saja ya”, jawabku sekenanya.
“Arghhhh...Ibu Guruuuu!”,
jeritnya dengan nada khasnya yang membuatku ketagihan untuk selalu menggodanya,
kemudian setelah itu aku akan tertawa terbahak-bahak, sedangkan dia akan
menggerutu tanpa berhenti.
Gerimis
masih belum berhenti, gelap membungkus wujudnya sehingga hanya gemericik air di
atas genteng sebagai isyarat bahwa butiran airnya masih berjatuhan. Kami –aku,
Pak Nardi, dan Rauf- masih berlatih vokal dan penghayatan lagu untuk persiapan final
karaoke di Kabupaten. Berbarengan dengan briefing Kelas Inspirasi #2 Majene,
sehingga daftar pekerjaanku sebagai fasilitator event sekaligus seorang Ibu
Guru harus dibagi sesuai porsinya supaya tidak ada yang terbengkalai. Malam ini
merupakan kesempatan terakhirku melatih Rauf benyanyi, karena besok ragaku
harus sudah berada di Kabupaten Majene untuk mempersiapkan briefing Kelas
Inspirasi #2 Majene.
“Nardi,
jangan lupa berangkatnya pagi-pagi. Aku mau nyariin kostum dulu buat Rauf”,
pesan singkat terkirim pagi buta kepada Pak Nardi, Guru Honorer sekolah yang
kerap kali kusapa tanpa embel-embel “Pak” karena usia yang masih seumuran dan
barangkali karena kami sering terlibat event atau kegiatan informal
bersama-sama sehingga embel-embel tersebut luntur pelan-pelan.
Tepat
hari ini merupakan hari pertandingan Rauf. Tapi sampai jam 10.00 WITA, Pak
Nardi dan Rauf belum kunjung datang. Sambil mempersiapkan acara briefing nanti
siang, sesekali kuperiksa telepon genggam, berharap ada kabar dari Pak Nardi. Penunjuk
waktu di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul 11.00 WITA ketika Pak Nardi
dan Rauf datang. Sontak aku berlari ke arah mereka, “Duh...kenapa lama sekali?”
“Iya, maaf Rin. Tadi Rauf belum
bangun. Kami tidur larut malam karena latihan lagi”, Pak Nardi menjawab dengan
nafas yang masih turun naik.
“Harusnya tadi disiram air saja,
Nardi”, jawabku, lagi-lagi dengan nada serius.
“Arghhhh...Ibu Guruuuu!”,
kembali jeritan khas itu yang meluncur dari mulutnya.
Setelah meminta izin kepada
panitia Kelas Inspirasi, aku membawa Rauf untuk memenuhi perutnya yang
keroncongan dan berkeliling untuk mencari kostum. Beberapa tempat disinggahi
untuk mencari kostum yang cocok, panas menyengat sampai ke ubun-ubun. Kulirik
Rauf, si kecil bersuara khas, tampaknya dia juga mulai nampak keletihan dan
kepanasan.
“Ya sudahlah, nak. Kalau tidak
dapat kostum, kamu pakai sarung saja ya?”, tanyaku dengan santai.
“Arghhhh...Ibu Guruuuu!”,
lagi-lagi jeritan itu yang spontan keluar dari mulutnya.
Sampai akhirnya, kami berhenti
di salah satu toko, dengan membawa 0,1% harapan bahwa kami akan menemukan
kostum yang diinginkan. Hampir seluruh etalase
kaca kami bongkar, semua gantungan baju tak luput dijelajahi, tapi nihil. Tapi
tiba-tiba...
“Ini saja, Bu. Maiko, Bu Guru!”, Rauf menarik tanganku
untuk menilik sebuah kostum, setelan jas hitam kecil, kemeja putih berlengan
panjang dengan hiasan renda sederhana di samping kancing baju, beserta celana
hitam. Seleranya tidak terlalu rendah juga untuk ukuran anak-anak pegunungan
dan pedalaman. Kami mencoba terlebih dahulu, berharap kostum tersebut tidak
terlalu kecil untuk Rauf. Barangkali, setelan jas hitam ini memang berjodoh
dengan Rauf.
Waktu menunjukkan pukul 15.00,
setelah mempersiapkan kostum Ra’uf, kami segera berangkat ke lokasi final dengan
tergesa-gesa. Sesampainya di lokasi, kami mengambil nomor undian, nomor 6. Detik-detik
penantian inilah yang paling mendebarkan bagi Ra’uf, pasang muka murung,
antusias terhadap penampilan finalis lain makin tinggi, dan keringat yang
sebesar biji jagung mulai bermunculan di sekitar dahi. Tidak seperti finalis
lain yang berasal dari SD unggulan di Kabupaten, mereka membawa sangat banyak
supporter, kami hanya datang membawa segenggam harapan. Aku berkelakar
sepanjang penantian tersebut, “Ya ampun, nak. Itu keringat apa butiran
jagung?”. Dia tertawa disusul raut muka gelisah kembali. Lima menit sebelum
berdiri di atas panggung, ketakutannya semakin menjadi. “Ibu, nanti saya lewat
sebelah mana?”, “Ibu, bolehkah saya lewat sebelah sana?”, “Ibu, tapi saya malu
lewat sana, lewat sini saja ya?”, macam-macam pertanyaan menyerangku
bertubi-tubi, terlihat betul bahwa Ra’uf mulai nervous.
Tubuh kecil di tengah panggung
yang lumayan besar, hampir aku pun tidak percaya bahwa dia akan berdiri di sana,
diantara para finalis yang berasal dari SD unggulan di Kabupaten Majene.
Sejenak aku merasakan bahwa jantungku berdetak lebih kencang, kecemasan yang
melakukan kudeta secara tiba-tiba. Lagu pertama selesai dinyanyikan, sempat
tersendat suaranya karena sendawa yang mendadak hadir. Lagu kedua mulai
dinyanyikan,
“Lagu ini saya persembahkan
untuk guru yang pernah mengajar saya dan sekarang telah pulang kembali ke
kampungnya”, iringan musik terdengar sendu, bulu kuduk tiba-tiba merinding
I’ omo cinna mata’u
Sangga I’o dilalang diateu
Membolong tama di ate mapacinmu
Mokara’ namerasai panoso
Tenna nariandi da’duau dilalang di atemu
Bawama’ lao dilino tammembali’
Sembangamma dau muingaran bomi
Oguru polemo’ mai
Bawama saliliu
Paulianna nyawau
Sawa’ sangga i’omo’ papperandanna nyawau
Andian..andian..da’duamu
Dan entah sudah yang keberapa kalinya, dia berhasil
membuatku air mataku runtuh. Lagu mandar ini memang aku dan Pak Nardi pilihkan,
karena lagu ini pernah dinyanyikan oleh Pak Ifan –Pengajar muda VII
sebelumnya-, sehingga akan memberi efek dramatis untuk Ra’uf yang baru sebulan
ditinggalkan oleh Pak Ifan. Tapi, kami tidak pernah menyangka akan menembus
perasaan terdalam kami juga.
Ra’uf
turun dari panggung dengan nafas yang dilepas sebebas-bebasnya. Kuacak-acak
rambutnya yang kaku karena gel rambut dari Pak Patria. Dia tidak terima dan
kembali mengeluarkan jeritan khasnya, “Arghhhh...Ibu Guruuuu!”. Barangkali di ruang hati yang entah
berada di sebelah mana, Ibu Guru berambisi untuk membuatmu menjadi juara. Tapi,
melihatmu bisa berada di atas panggung, merobohkan segala ketakutan dan rasa
mindermu, adalah sesuatu yang sangat luar biasa untuk ibu. Ambisi Ibu Guru
lenyap entah kemana. Cukuplah aku menjadi seorang teman, seorang sahabat,
seorang ibu, dan seorang guru yang ingin mempersembahkan sepenggal waktu yang
tidak lama ini dengan hal-hal yang sangat berharga, lebih dari sebuah
kemenangan, tapi waktu untuk tertawa, untuk bermain, untuk belajar, untuk
menjadi baik, dan untuk mencari pengalaman.
0 komentar:
Posting Komentar