Alarm menjerit
dengan serampangan, semakin lama semakin keras dan mengganggu indra
pendengaranku. Pukul 04.00 WITA, aku terbangun dengan tergesa-gesa, menuju ke
kamar mandi dan membasahi wajah, berharap dapat mengusir kantuk dan mereduksi
sedikit kelelahan akibat begadang untuk rapat audiensi program. Dua puluh menit
berlalu, tas ransel besar bertuliskan Indonesia Mengajar yang merupakan
peninggalan kakak PM VII tercinta yaitu Mas Ifan, telah melekat di punggunggku.
Ocy memanggil dari balik punggung, dia hendak menumpang motor bapak angkatku,
tapi aku paham betul bahwa niat sesungguhnya Ocy adalah menemaniku yang nekat
pulang pagi buta, kuperbolehkan dia menjadi teman perjalanan pulang ke dusun.
Subuh yang
dingin, beberapa terlihat penduduk Majene yang sedang berangkat menuju Masjid
untuk melaksanakan Shalat Subuh. Jalanan dari Kabupaten Majene ke arah Mamuju
masih lengang dan bahkan masih gelap di beberapa titik. Jalur masih bersahabat,
cuma sesekali melewati jalan berkelok yang lumayan tajam tanpa penerangan
jalan, hanya mengandalkan lampu motor.
Kecamatan
Sendana, kami sampai di tujuan pertama, tempat pengabdian Ocy. Tiba saatnya
memulai perjalanan pertama mengendarai motor seorang diri menuju Kecamatan
Malunda, menyeramkan, antara gamang dan nekat. Akhirnya kuberanikan diri untuk
melalui perjalanan sepanjang 80 Km dengan jalanan berkelok, turun-naik, dan
sesekali lubang menganga di tengah jalan. Wajah ceria anak-anakku ketika
berangkat sekolah, tubuh kecil berbalut seragam sekolah di pagi hari yang masih
berkabut dan terkadang gerimis kecil, suara mereka yang menyapa “Bu Guru”
sambil bercerita tentang macam-macam kisah dengan Bahasa Mandar yang dipoles
sedikit dengan Bahasa Indonesia, suasana seperti ini lebih menarik bagiku untuk
datang ke sekolah daripada harus ketakutan dengan perjalanan seorang diri. Demi
mereka, pagi ini aku menerjang dingin, gelap, dan kegamanganku pada jalanan
berkelok.
Jam tangan
casio hitam menunjukkan pukul 06.00 WITA, kecepatan motor kunaikkan untuk dapat
mengikuti pelaksanaan upacara di sekolah. Beberapa saat setelah melewati
jembatan, aku tersentak kaget dengan lubang besar di tengah jalan,
keseimbanganku terganggu, akhirnya motorku oleng. Kepala terbentur aspal,
mataku gelap karena darah yang mengucur, perlahan kekuatanku melemah, tersisa
sedikit tenaga untuk menjerit minta tolong sebelum akhirnya kesadaranku
menghilang.
Rasa ngilu dan
perih memaksa kesadaranku kembali. Kedua mataku terbuka, tapi penglihatan masih
kabur. Seorang Ibu dan beberapa orang asing berada di sekitar ranjangku, aku
berada di pusat kesehatan. “Nak, ini sudah di puskesmas. Kamu di sini tinggal
dimana? Sama siapa nak?”, Ibu tersebut
bertanya di dekat telingaku. Tiba-tiba rasanya seluruh ingatanku sedang
mengambang hendak lari, antara nyata dan tidak nyata, antara percaya dan tidak
percaya bahwa seluruh yang berlarian di memori otakku adalah ingatanku tentang
kehidupan sebelumnya. Pelan-pelan kupungut ingatan-ingatan yang hampir hilang
tersebut, “Sa...saya ikut orang tua angkat. Ehm..namanya Bapak Upi”, dengan
pandangan yang masih kabur, kulihat ibu tersebut menelpon seseorang. Aku meringis
kesakitan, seorang perawat membersihkan luka di lutut yang sangat lebar, serta
luka di pergelangan tangan sebelah kiri dan siku sebelah kanan.
Tubuhku
dipindahkan ke ruang perawatan menggunakan kursi roda. Celana tidur koyak
hingga selangkangan, sarung bermotif kotak besar menutupinya agar tidak jadi
bahan tontonan para pengunjung, pasien maupun petugas kesehatan. Beberapa menit
kemudian, Ocy datang tergopoh-gopoh, meninggalkan sekolah dan anak-anaknya
untuk menjenguk dan menjagaku. Tidak berapa lama, bapak angkatku tiba dengan
raut muka khawatir, disusul Pak Kepala Sekolah, Pak Odank, Saudara Pak Bau
(Sekretaris Daerah) dengan membawakan bubur dan macam-macam makanan yang tidak
mampu masuk mulut karena bibir yang sobek. Beberapa warga sekitar Puskesmas
Sendana II turut berkunjung, bahkan aku pun tak mengenal mereka karena lokasi
penempatanku yang masih sangat jauh. Sekitar jam 11.00 WITA Bapak Kepala UPTD
Malunda datang dan seketika itu menyelesaikan berbagai urusan administrasi,
menjemputku untuk dirawat di rumahnya hingga kondisi stabil dan mampu untuk
menembus jalanan ekstrem menuju dusun.
Pertama kali
dalam hidupku, benar-benar merasa menjadi manusia paling berharga, seluruh
orang memperhatikan kondisiku, seperti porselen, dijaga sekali agar tidak lecet
barang sedikit pun. Selama 3 hari dan 2 malam, berbagai teman dan kerabat dari
orang tua angkat silih berganti berdatangan. Saudara-saudara seperjuangan juga
datang untuk melimpahkan banyak penghiburan, meskipun aku kesakitan untuk
tertawa, sangat melegakan bahwa kami berdelapan memang telah menjadi saudara
dalam kondisi sesulit apapun. Seseorang yang sedang mengabdi di Provinsi
Sebelah juga tak henti untuk memastikan keadaan dan selalu mengkhawatirkanku. Luar
biasa, kasih sayang yang datang dari banyak penjuru. Terima kasih telah memberiku
keluarga dan teman-teman yang begitu tulus, Allah. Terima kasih juga masih
mengizinkanku untuk membuka mata setelah pingsan sepanjang 6 Km dari lokasi
kecelakaan sampai ke puskesmas. Terima kasih masih mengizinkanku untuk melihat
dan mengajar anak-anak lagi. Terima kasih telah menghadirkan seseorang yang
meskipun jauh tak luput untuk memberi semangat.
*Cerita ditulis pasca seminggu kecelakaan*