Hidup adalah
perjalanan menjemput mati, proses yang barangkali panjang dan menyuguhkan
beragam fase, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, kemudian tua dan seluruh
organ-organnya menyerah untuk tetap menyumbang nafas pada raga. Atau barangkali
proses yang pendek, bayi meninggal, anak-anak dicabut ruhnya.
Sebagai seorang
dewasa yang telah beruntung mengecap dan menjelajahi banyak fase hidup, pun
diizinkan untuk merengkuh dan berada di antara fase anak-anak luar biasa di
Dusun Buttutala, aku mengerahkan segala daya dan upayaku untuk memberi mereka
sebanyak-banyaknya waktu yang berharga. Maka, di penghujung senja ini
kubawa mereka menempuh perjalanan kaki
sepanjang 2 Km menuruni gunung dan perjalanan mobil sepanjang 89 Km dari Desa
menuju Kabupaten. Untuk apa? Untuk tampil di depan umum, untuk memantik
keberanian dan kepercayaan diri mereka. Sebagai seorang Ibu Guru, aku tidak
berekspektasi terlampau jauh untuk membuat mereka memperoleh juara di
Kabupaten. Bagi mereka dan bagiku, dapat tampil dan beraksi di sebuah SMP
Unggulan se-Kabupaten adalah sebuah pengalaman yang tak ternilai, tidak mampu
dibarter dengan nominal sebesar apapun.
Kaki-kaki kecil
berjalan beriringan, menempuh tanah liat kering dan jalan setapak yang sesekali
turun dan naik. Mereka berceloteh dengan bahasa mereka yang masih susah aku
pahami, bercampur Bahasa Indonesia dengan susunan yang masih semrawut. Raut
muka yang penuh kebahagiaan, bukan karena mereka sudah siap untuk menyingkirkan
banyak saingan dari SD-SD unggulan di Kabupaten, tetapi mereka akan
menginjakkan kaki di Kabupaten, momen yang mungkin hanya bisa mereka rasakan 2
atau 3 kali dalam setahun, atau bahkan tidak sama sekali.
“Ibu guru, sini
gitarmu. Biar kubawakan”, Rudi-siswaku yang cerdas, tapi tidak pernah bosan
membuat teman-temannya menangis- menarik gitar yang kupanggul sambil berjalan
dibelakang mereka. “Mana tasmu, Bu? Sini biar aku yang bawa”, Andri menawarkan
pundaknya untuk membawakan bebanku. “Bu Guru, ini ambil rambutan, yang banyak”,
Hasrina menyodorkan kresek besar berisi Rambutan dan memaksa untuk memenuhi
lambungku dengan buah tersebut. Berada diantara mereka merupakan sebuah
keajaiban, memang butuh tenaga ekstra untuk membentuk karakter mereka, tapi di
sisi lain ada hal-hal menarik yang bisa mendongkrak kelelahanku setelah
seharian bergelut dengan prilaku mereka yang masih butuh ditempa, yaitu kasih
sayang dan keperdulian mereka kepadaku.
Mobil sewaan
telah siap mengantar anak-anak menuju Kabupaten yang jaraknya tidak dekat,
melalui jalanan berkelok dan beberapa sisi jalan yang berlubang. Wajah berseri
yang keindahannya mengalahkan matahari senja, betapa beruntungnya aku mampu
menikmati kegembiraan mereka yang mungkin hanya bersinar saat mereka hendak ke
Kabupaten dan momen seperti ini sangat langka. Anak-anak tetaplah anak-anak,
ego yang masih tinggi, seperti halnya dalam menentukan tempat duduk di dalam
mobil. Kali ini kubiarkan Bapak Guru Nardi yang menaklukkan anak-anak.
Wajah pagi yang
tidak biasa, riuh rendah suara anak-anak yang tidak sabar menghadapi hari ini, hari
pertama pertandingan. Halaman depan SMP Unggulan 3 Majene telah jadi lautan
anak-anak yang hendak mengikuti perlombaan, bersiap-siap untuk mempertontonkan
yel-yel mereka. Gelisah, nervous, memang bukan aku yang akan memperagakan
yel-yel tersebut. And well, akhirnya merasakan juga momen menjadi seorang guru
yang melihat anak-anaknya bertanding.
Setelah pembukaan
sekaligus Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, peserta Lomba MIPASS dipanggil
untuk masuk ke ruangan. Kami -aku, Hasrina, Nunu, dan Rudi- sontak kaget dan
tergopoh-gopoh mencari ruangan. Hasrina mencari daftar namanya dengan seksama
di setiap pintu masuk ruang kelas, “Ibu...Ibu...ini ada namaku”. “Mana, nak?
Mana?”, kulihat satu per satu daftar nama peserta dan belum ketemu. “Ini Ibu.
No 16”, dia menunjuk tepat di nomor urut 16. Kuikuti langkahnya memasuki
ruangan, langkah yang ragu-ragu ataukah minder? Entah. Kupegang pundaknya,
berusaha menyuntikkan kekuatan ke dalam dirinya, “Semangat ya, Nak! Kerjakan
dengan tenang dan santai”. Tiba-tiba Hasrina mengambil telapak tanganku,
menciumnya, lama, kemudian kuangkat wajahnya, dia menangis, “Doakan Hasrina ya,
Bu!”. Antara terkejut dan terharu, sempat terpaku sejenak memandangi wajahnya
yang hampir banjir oleh air mata, “Lihat, Ibu! Yang penting Hasrina berusaha
sebaik mungkin, jangan pikirkan hasilnya dulu. Ibu percaya sama Hasrina. Ibu
medoakan dari luar ya, nak”. Kembali aku dan Nunu tergopoh-gopoh mencari Rudi
yang sudah pergi entah kemana, kutelusuri deretan daftar nama di kertas yang dipasang di depan pintu ruang
lomba. “Ibu Guru, ini ada namanya Rudi!”, Nunu menunjuk salah satu nama di
sana, dan lagi-lagi bukan aku yang menemukan nama siswaku di daftar tersebut,
payah sekali. Kuintip isi ruang kelas dari balik pintu, dari sela-sela pintu
yang terbuka sedikit. Rudi duduk tenang, sepertinya aura kecemasan yang
membuatnya terdiam seperti patung di salah satu meja tersebut, tidak seperti
Rudi yang biasanya. Nunu menarik-narik tanganku,”Ayo, Ibu! Cari ruangan saya”.
Kami kembali tergopoh-gopoh mencari ruang seleksi, hampir melupakan Nunu yang
juga akan mengikuti seleksi IPA. Kali ini aku yang menemukan daftar namanya,
“Masuk, nak! Ini ruanganmu”. Dia berhenti dan menunduk, “Saya ingin Ibu Guru
mengantar sampai meja”. Anak yang paling cerdas di sekolah, di saat
teman-temannya mendapat nilai 50, dia selalu mendapat nilai di atas 70, sayang
sekali dia tipe anak yang cukup pemalu berada di lingkungan baru. Kutarik
tangannya pelan-pelan, berjalan menuju mejanya di salah satu sudut belakang
ruangan. “Ganbatte Kudasai!”, bisikku di telinganya, kemudian dia tertawa
kecil. Dia memang suka sekali menuliskan kata “Semangat” dengan Bahasa Jepang
setiap kali menulis surat untukku.
|
Nunu |
|
Rudi |
|
Hasrina |
Seorang anak
lelaki kecil, yang tingginya lebih mirip anak kelas 3 atau 4 SD dibandingkan
kelas 6 SD, tengah duduk dengan tegang di salah satu kursi. Sesekali melihat
sekeliling seperti mencari seseorang dengan raut muka cemas. “Nah...kenapa
kamu, nak? Mencari Ibu? Ibu baru mengantar Nunu, Hasrina, dan Rudi mencari
ruangannya”, aku menepuk kedua bahunya yang sangat kecil, dia cuma tersenyum. Namanya
Rauf, seorang anak yang memiliki suara dan kemampuan musikalitas yang cukup
bagus, dan ini kali pertamanya akan berada di atas panggung terbuka untuk lomba
karaoke. Mendapatkan urutan nomor 1, sepertinya membuat dia sangat cemas,
berulang kali dia bertanya yang sebenarnya lebih menunjukkan bahwa dia sedang
tegang. “Ibu nanti saya bilang apa di atas panggung?”, “Ibu nanti saya perlu
menyebutkan nama sekolah?”, “Ibu nanti setelah perkenalan langsung menyanyi
saja?”, sederetan pertanyaan yang dia berondongkan kepadaku dengan muka yang
sangat khawatir, lucu. Sampai akhirnya, gilirannya berdiri di atas panggung,
menyanyikan lagu Bunda.
Kubuka album biru, penuh debu
dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang, dahulu
penuh kasih
Tanpa terasa air mataku bergulir jatuh, bangga. Meskipun dia bernyanyi
tanpa gaya, mungkin karena malu, tapi dia bernyanyi dengan hati. Seluruh penonton
memberikan tepuk tangan yang sangat meriah. “Dari SD mana itu? bagus”, “SD
Buttutala”, “Dimana itu?”, omongan-omongan di belakang yang merasa asing dengan
nama SD kami.
|
Nasriani |
|
Ra'uf |
Di sisi lain, seorang anak bernama Gilang sedang
berjuang di Meja tenis. Pak Nardi, Pak Khairil, Pak Patria dan beberapa
teman-temannya mendampingi serta turut memberikan dukungan. Tak berbeda dengan
Rauf, Gilang pun memiliki badan kecil, dibandingkan dengan lawan-lawannya,
badan Gilang yang paling kecil. Dia kecil, tapi gesit. Dan hari ini,
kegesitannya telah membawanya menuju babak penyisihan. And see, bahkan apa yang
kami dapatkan hari ini melebihi ekspektasiku. Gilang lolos ke tahap semifinal
Tenis Meja, Rauf lolos ke tahap final, dan Rudi lolos ke tahap praktek
Matematika.
Pagi yang lain, tidak seperti kemarin, hari ini
mereka lebih bersemangat. Mereka mulai paham bahwa sesungguhnya mereka bisa
berprestasi layaknya anak-anak di kota. Dan hari ini, Gilang dan Rudi akan
memperebutkan juara, sedangkan Rauf akan maju di Final tanggal 27 Februari
2015. Hari ini, Nunu juga akan mengikuti lomba da’i cilik. Semenjak pagi, Nunu
sudah berbisik kepadaku, “Ibu Guru, saya tidak usah maju saja ya”. Dia malu,
sindrom yang selalu menjangkiti hampir seluruh anak-anak dari pedalaman.
Akhirnya, aku dan Nunu duduk di depan sebuah panggung terbuka, dimana Nunu akan
tampil di sana dan disaksikan oleh banyak orang. Tiba-tiba dia menangis, aku
kebingungan, cuma kuberikan tissue untuk menghapus air matanya dan kubiarkan
dia menangis beberapa saat, kemudian kubisikkan sesuatu kepadanya, “Ibu tidak
perlu Nunu untuk menang, yang penting Nunu sudah berani tampil, itu sudah
sangat berharga buat Ibu”. Dia masih sesenggukan beberapa saat, minta diantar
ke toilet, dan bertanya, “masih berantakan kah jilbabnya Nunu, Bu?”. Kurapikan
kembali jilbab dan wajahnya yang sembab karena menangis. Kami kembali ke depan
panggung dan hari ini Nunu menjadi seorang da’i cilik dengan sangat
membanggakan. Tak masalah dia tidak lolos ke babak final, karena hari ini Nunu
telah menjadi pemenang untuk dirinya sendiri, dia berhasil mengalahkan
ketakutannya.
Sore ini, sebelum anak-anak pulang, kubawa mereka
ke laut. Mereka berenang dan meloncat dari tembok, membebaskan kebahagiaan
sekaligus keletihan mereka setelah beberapa hari mengikuti perlombaan. Dan
cukuplah perasaan sebagai seorang Ibu kepada anak-anaknya, perasaan cemas, bangga,
terharu, bahagia, dan cinta. Terima kasih telah memberikan perasaan-perasaan
ini kepadaku, Nak. Sore beranjak menuju petang, gelap mengawal di beberapa sudut,
yang pada akhirnya mengajak kami untuk segera beranjak pulang. Seluruh lelah
atas perjuangan kami beberapa hari kemarin akan terbayarkan nanti di malam
final, kami menunggu Rauf untuk memberikan suara terbaiknya di malam final,
“Siap, Nak?”, “Siap Ibuuuuu!” pekiknya di telingaku.
~Cerita perjalanan dari tanah atas masih
berlanjut~